Agar demokrasi tak kebablasan di media sosial

Demokrasi di era banjir informasi seperti makan buah simalakama. Di satu sisi menjadi kebutuhan, di sisi lain bisa jadi kebablasan.

Ilustrasi demokrasi di media sosial./ Pixabay

Futurolog Amerika Serikat Alvin Toffler pernah meramalkan dunia yang tak tersekat dan manunggal berpuluh tahun silam. Ramalannya jadi kenyataan sejak internet sebagai teknologi yang menghapus semua batasan tersebut. Sejak itu hingga kini, sesuai ramalan Toffler, jagat maya menjadi rumah kedua bagi para peselancar.

Tidak hanya menjelama sebagai wadah hiburan, tetapi juga digunakan sebagai media penyambung pendapat. Tak ada yang keliru dengan itu. Bahkan hukum positif tertinggi di Indonesia, UUD 1945 (amandemen) pasal 28E ayat (3) menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.”

Dibukanya keran demokrasi dan kebebasan berekspresi kadang bisa jadi boomerang. Banyak peselancar di jagat maya sibuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, hingga melakukan aktivitas yang bertujuan merugikan orang lain, seperti bullying, doxing, hingga pencemaran nama baik.

Pakar demokrasi Haryono Wibowo menuturkan, pendapat yang bersifat mengkritisi belakang ini sudah di luar batas atau kebablasan. Namun ia tak menyalahkan sepenuhnya, sebab marwah demokrasi memang ditengarai dari kebebasan berpendapat.

“Demokrasi kalau tidak diatur akan memakan anak kandungnya sendiri, karena sebenarnya demokrasi itu membawa cacat bawaan. Kebebasan (berpendapat) merupakan cacat bawaan yang dibawa pada demokrasi,” jelasnya saat dihubungi Alinea, Jumat (27/4).