sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Agar demokrasi tak kebablasan di media sosial

Demokrasi di era banjir informasi seperti makan buah simalakama. Di satu sisi menjadi kebutuhan, di sisi lain bisa jadi kebablasan.

Ayu mumpuni
Ayu mumpuni Sabtu, 28 Apr 2018 18:01 WIB
Agar demokrasi tak kebablasan di media sosial

Futurolog Amerika Serikat Alvin Toffler pernah meramalkan dunia yang tak tersekat dan manunggal berpuluh tahun silam. Ramalannya jadi kenyataan sejak internet sebagai teknologi yang menghapus semua batasan tersebut. Sejak itu hingga kini, sesuai ramalan Toffler, jagat maya menjadi rumah kedua bagi para peselancar.

Tidak hanya menjelama sebagai wadah hiburan, tetapi juga digunakan sebagai media penyambung pendapat. Tak ada yang keliru dengan itu. Bahkan hukum positif tertinggi di Indonesia, UUD 1945 (amandemen) pasal 28E ayat (3) menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.”

Dibukanya keran demokrasi dan kebebasan berekspresi kadang bisa jadi boomerang. Banyak peselancar di jagat maya sibuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, hingga melakukan aktivitas yang bertujuan merugikan orang lain, seperti bullying, doxing, hingga pencemaran nama baik.

Pakar demokrasi Haryono Wibowo menuturkan, pendapat yang bersifat mengkritisi belakang ini sudah di luar batas atau kebablasan. Namun ia tak menyalahkan sepenuhnya, sebab marwah demokrasi memang ditengarai dari kebebasan berpendapat.

“Demokrasi kalau tidak diatur akan memakan anak kandungnya sendiri, karena sebenarnya demokrasi itu membawa cacat bawaan. Kebebasan (berpendapat) merupakan cacat bawaan yang dibawa pada demokrasi,” jelasnya saat dihubungi Alinea, Jumat (27/4).

Menurutnya, sebuah kritik seharusnya disertakan dengan data agar ilmiah, akurat, dan tak hanya jadi pepesan kosong. Tidak hanya data, seseorang yang memberikan kritik seharusnya tidak hanya mengomentari atau melempar bola panas, tetapi juga memberikan solusi.

Tanggung jawab di media sosial perlu dikawal, mengingat kini makin marak UU yang tak berperspektif pada kebebasan berekspresi. Kasus pelaporan Jonru, Amien Rais, Sukmawati, Guntur Romli menjadi contoh betapa kebebasan berpendapat bisa memakan si empunya sendiri, seiring dengan kondisi mental warga yang pemarah dan begitu reaksioner.

Terakhir kasus pelanggaran kebebasan berpendapat yang menyeret seorang dosen di salah satu universitas Ternate, Maluku. Ia menjadi tersangka karena cuitannya di media sosial berisi kritik pada kebijakan Presiden Joko Widodo. Dosen tersebut dikenakan Pasal 28 UU ITE mengenai ujaran kebencian.

Sponsored

Menurut Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar, beberapa kasus seperti itu terkadang dikarenakan adanya salah tafsir aparat untuk memilah mana yang termasuk ke dalam pencemaran nama baik.

“Ada problem karena tadi regulasinya terlalu bisa memberikan pemilahan antara satu tindakan, satu peristiwa, satu dengan yang lain oleh penegak hukum maupun pemerintah,” katanya.

Faktor kedua menurut Wahyudi terletak pada masyarakat yang belum bisa memisahkan kehidupan nyata dan kehidupan maya. Padahal kemajuan teknologi begitu cepat pertumbuhannya. Oleh sebab itu, masyarakat belum bisa berkomunikasi dengan baik di dunia maya.

Sependapat dengan Wahyudi, Haryono pun meminta agar aparat penegak hukum tidak hanya mengedepankan pendekatan hukum untuk mengatasi kebablasan berpendapat yang tak bertanggung jawab. Menurutnya, perlu ada pendekatan edukatif kepada masyarakat untuk memberikan kritik di media sosial.

“Menurut saya pendekatannya tidak harus mengedepankan pendekatan hukum, tapi lebih kepada pendekatan edukasi. Membangun kesadaran pada masyarakat, bagaimana memberikan kritik yang baik, bagaimana berdemokrasi yang baik,” jelasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid