Dua item di RUU KUHP ini masih dipersoalkan publik

Sejumlah elemen masyarakat masih mempertanyakan alasan pemerintah dan DPR memasukkan dua item ini RUU KUHP

Sekelompok warga dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Demokrasi melakukan aksi saat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/9)./AntaraFoto

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah berpotensi melakukan pembangkangan terhadap konstitusi jika mengesahkan pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam Rancangan Undang Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP). 

Junior Research Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, ketiadaan pasal penghinaan presiden itu sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang 2007. Dalam putusannya, MK mengatakan pasal penghinaan presiden sudah tidak relevan pada sistem demokrasi. 

"Pasal penghinaan presiden ataupun pasal yang mirip seperti itu, tidak boleh ada direformasi hukum pidana Indonesia," kata Maidina di Kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).

Dalih DPR dan pemerintah yang ingin melindungi simbol negara dengan memasukan pasal tersebut ke dalam RUU KUHP, menurut dia, janggal. Menurutnya alasan tersebut semata-mata untuk melindungi pimpinan negara dari kritikan masyarakat. 

Padahal dalam keputusan yang dikeluarkan MK, menyebutkan, kedudukan kepala negara presiden ataupun wakil presiden setara dengan masyarakat.