Klaim polisi soal 9 korban tewas rusuh 22 Mei dinilai janggal

Komnas HAM diminta mengawasi kinerja polisi saat menyidik kasus kerusuhan 22 Mei.

Petugas mengevakuasi massa yang menjadi korban kerusuhan pada aksi 22 Mei. Antara Foto

Amnesty International Indonesia mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengawasi kinerja kepolisian dalam menyelidiki kasus kerusuhan pada 21-22 Mei 2019. Amnesty International merasa ada yang janggal dengan beberapa temuannya terkait penyidikan yang dilakukan Korps Bhayangkara tersebut.

Campaign Manager Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, mengatakan pihaknya telah menemukan sejumlah dugaan penyiksaan, perlakuan buruk, dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi dalam menangani demonstrasi 21-22 Mei. Menurut Puri, hasil penyidikan kepolisian janggal dan harus diukur dengan standar hak asasi manusia. 

“Misalnya polisi terlalu dini menyimpulkan sembilan korban tewas sebagai perusuh. Apakah pernyataan tersebut sudah didahului dengan gelar perkara atau olah TKP (tempat kejadian perkara) di lapangan?”  kata Puri di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (8/7).

Selain itu, Puri juga menyoroti 10 anggota Brimob yang mengeroyok Andri Bibir dan Markus di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia merasa polisi tidak bisa menjelaskan kepada publik secara detil informasi sebenarnya ikhwal kasus tersebut. Khususnya, pertimbangan menjatuhkan sanksi kepada 10 Brimob tersebut.

“Sepuluh anggota Brimob yang diproses harus dijelaskan penjelasan deployment dari mana? Siapa komandan lapangan yang mengarahkan, khususnya peristiwa 23 Mei, di Kampung Bali, Bawaslu, Fave Hotel, dan depan Kedubes Spanyol? Vonis hukuman juga harus jelas dijelaskan kepada publik,” tutur Puri.