"Kami dipukul, ditendang, dan tak tahu kapan boleh pulang..."

Polisi menangkap belasan peserta aksi unjuk rasa menolak revisi UU Ketenagakerjaan.

Ketua Bidang Advokasi LBH Jakarta Nelson Simamora (tengah baju hitam) dan Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos (tengah baju oranye) dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Sabtu (17/8). Alinea.id/Alfiansyah Ramdhani

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam perlakuan polisi terhadap para pengunjuk rasa Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) di area Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (17/8) lalu. Ketua Bidang Advokasi LBH Jakarta Nelson Simamora mengatakan, penangkapan dan intimidasi terhadap massa buruh dalam aksi unjuk rasa tersebut mencederai demokrasi. 

"Polisi itu harusnya menjadi elemen sentral masyrakat yang demokratis, bergerak berdasarkan undang-undang bukan atas perintah penguasa, atau suruhan dari atasan," kata dia di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/8). 

Dalam aksi unjuk rasa yang digelar berbarengan dengan sidang tahunan MPR itu, polisi menangkap belasan peserta aksi unjuk rasa di depan Gedung TVRI, Jalan Gerbang Pemuda, Senayan. Sebagian peserta aksi unjuk rasa bahkan ditangkap sebelum menggelar aksi mereka. 

"Lantas apa dasar mereka mengintervensi masa aksi? Padahal, mereka belum aksi baru berkumpul saja di depan Gedung TVRI. Tidak perlu ditakuti, kalau sedikit-sedikit demonstrasi disuruh bubar, saya justru bingung polisi belajar di mana," kata dia. 

Tak hanya itu, Nelson juga mempertanyakan alasan polisi berupaya membubarkan aksi. Pasalnya, izin untuk menggelar aksi unjuk rasa telah disampaikan kepada kepolisian tiga hari sebelumnya.