Ketimpangan hukum dan monopoli tuan tanah

UUPA Tahun 1960 dinilai cukup komprehensif menjawab persoalan agraria. Namun produk legislasi sesudahnya justru banyak berseberangan.

Petani yang terlibat sengketa lahan dengan perusahaan akibat belum berjalannya agenda reforma agraria./ Antarafoto

RPJMN 2015-2019 yang mengadopsi semangat Nawacita Jokowi memuat satu kebijakan baru mengenai pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat. Aturan yang dikemas dalam bentuk Kebijakan Tanah Objek Refoma Agraria ini menargetkan 9 juta hektar legalisasi dan redistribusi tanah. Dalam tiga tahun implementasinya, Walhi mencatat capaian kebijakan legalisasi aset mencapai 508.391,11 hektar, sedangkan redistribusi aset seluas 187.036 hektar, totalnya sebanyak 695.427,11 hektar.

Dari situ tampak, Nawacita Jokowi lebih banyak diejawantahkan dalam program legalisasi. Sementara capaian redistribusi tanah relatif minim. Dalam rilis resmi Sekretariat Presiden pada medio Januari lalu, tertulis, keberhasilan Kementerian ATR/BPN mencapai 5.262.162 bidang dan penerbitan sertifikat sebanyak 4.231.616 bidang.

Rendahnya realisasi capaian tersebut tak lepas dari mekanisme kebijakan, yang belum mengakomodir skema penyelesaian konflik ruang antara rakyat dan korporasi industri ekstraktif. Di samping itu, pelbagai masalah tanah yang kerap berkelindan dengan realitas sosial masyarakat, jadi catatan yang belum berhasil dituntaskan di era Jokowi. Termasuk masalah krisis ekologi, reklamasi lahan, hingga yang paling parah adalah kebijakan hukum yang centang perenang.

Dari sisi hukum, Indonesia sebenarnya memiliki aturan perundang-undangan yang cukup komprehensif mewadahi problematika agraria, UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Hanya saja, UU yang lahir di tengah gejolak politik dalam negeri itu justru dipetieskan sejak era Soeharto hingga kini. Padahal UU tersebut cukup gamblang menjamin akses dan pemanfaatan SDA baik air, bumi, tambang, hutan, dan kekayaan alam lain, pun aturan ihwal penguasaan tanah bagi petani dan korporasi.

Dalam praktiknya, UU dan turunan produk legislasinya justru bertabrakan dengan UUPA itu sendiri. Di era Soeharto, terdapat dua UU yang secara terang menyelingkuhi UUPA, yakni UU Penanaman Modal dan UU Kehutanan Tahun 1967. UU lain yang digulirkan di era reformasi juga tak selaras dengan UUPA, antara lain UU Minerba, RUU Kelapa Sawit yang sekarang masuk agenda prolegnas DPR, dan UU SDA.