Kisah aktivis lingkungan bekerja di bawah bayang maut: Rumah dibakar, kantor diserbu

"Dor! Ada yang roboh kawan kami. Semua panik. 'Ada yang kena tembak! Ada yang kena tembak!'"

Ilustrasi aktivis lingkungan hidup. Alinea.id/Aisya Kurnia

Tembakan gas air mata berkali-kali meletus di sekitar Tugu Khatulistiwa, Tinombo Selatan, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/2) malam itu. Asap yang bikin perih mata mengepul di mana-mana. Peserta aksi unjuk rasa kocar-kacir. 

Bersenjatakan tameng dan pentungan, polisi merangsek membubarkan barisan pengunjuk rasa yang memblokade Jalan Trans Sulawesi. Di jalan yang menghubungkan tiga provinsi itu, peserta aksi telah menanti kehadiran Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Matura sejak pagi. 

Rohiman--bukan nama sebenarnya--ada di tengah aksi unjuk rasa itu. Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tani itu mengaku menyaksikan bagaimana brutalnya aparat Brimob yang dikerahkan untuk membubarkan aksi unjuk rasa yang dihadiri ratusan orang tersebut. 

"Kami habis-habisan dipukul mundur dengan water cannon (meriam air) polisi. Tetapi, kami tetap bertahan. Jujur, malam itu, saya juga agak takut karena Brimob yang memukul mundur. Saya takut jadi sasaran," ucap Rohiman kepada Alinea.id, Senin (14/2). 

Aksi unjuk rasa itu digelar untuk menuntut pemerintah setempat menutup tambang emas yang dikelola PT Trio Kencana di Kasimbar, Tinombo Selatan dan Toribulu. Selain warga terdampak tambang, peserta aksi juga datang dari kalangan aktivis dan mahasiswa.