KontraS anggap RUU Cilaka hanya memanjakan investor

Lantaran pemerintah tak melibatkan publik dalam penyusunan draf undang-undang sapu jagat (omnibus law) tersebut.

Salah satu massa Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) mengangkat kain rentang saat aksi menolak RUU Cipta Lapangan Kerja di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/1/2020). Foto Antara/Dhemas Reviyanto

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berpendapat, Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) sekadar memanjakan investor. Namun, abai terhadap kepentingan publik serta potensi perusakan lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).

Kepala Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar, mencontohkannya dengan kasus dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah warga Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Puluhan warga di sana dilaporkan perusahaan tambang ke kepolisian.

"Terjadi kasus berupa kriminalisasi terhadap warga negara. Ini terjadi di pulau kecil. Di Wawonii. Terdapat 27 orang yang dikriminalisasi," katanya dalam jumpa pers di Kantor KontraS, Jakarta, Senin (27/1).

PT Gema Kreasi Perdana (GKP) melaporkan warga Wawonii ke Polda Sultra dengan tuduhan menghalangi kegiatan tambang. Mereka dituding melanggar Pasal 162 juncto Pasal 136 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Sementara, RUU Cilaka mencakup 11 klaster dari 82 UU dan 1.194 pasal. Penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; serta kawasan ekonomi khusus (KEK).