Korban lumpur Lapindo masih menanti ganti rugi yang layak

Di Sidoarjo, warga merayakan 13 tahun tragedi semburan panas lumpur Lapindo.

Massa dari Kelompok Perempuan Korban Lapindo membentangkan foto rumah yang terendam lumpur saat melakukan aksi peringatan 13 tahun semburan lumpur Lapindo di depan Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (29/5). /Antara Foto

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkritik nilai ganti rugi yang diupayakan PT Lapindo Brantas dan pemerintah bagi masyarakat yang terdampak bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut Koordinator Jatam Merah Johansyah, ganti rugi yang disiapkan masih belum sesuai dengan kerugian yang dialami warga. 

"Kalau memang mau ganti rugi itu seharusnya dihitung nilai materialnya. Sekarang kan dihitung lahan bangunan, ini yang jadi polemik. Pemulihan kesehatan, tanggung jawab psikologis masyarakat itu seharusnya juga dipikirkan," kata Merah dalam diskusi Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta Selatan, Rabu (29/5).

Menurut catatan Jatam, luapan lumpur Lapindo menyelimuti sekitar 640 hektare lahan di sepuluh desa atau 10.426 rumah di Sidoarjo. Diperkirakan sebanyak 22.214 warga terkena dampak tragedi yang kini telah 'disahkan' menjadi bencana nasional itu. 

Menurut Merah, semburan lumpur panas Lapindo melahirkan penampungan warga terbesar di Indonesia. Tak hanya merampas hak hidup masyarakat, menurut Merah, tragedi Lapindo juga menciptakan kerusakan lingkungan yang parah. 

"Tragedi semburan lumpur Lapindo itu menjadi bukti nyata bahwa industri tambang merupakan industri yang rakus lahan, sarat dengan kasus pelanggaran HAM, serta jauh dari tujuan keberlanjutan lingkungan," ujar Merah.