KPK kritik kebijakan Jokowi soal Omnibus Law

KPK meminta sebelum menerapkan aturan Omnibus Law, perlu ada naskah akademik yang mengkaji aturan tersebut secara baik.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri), Alexander Marwata (kanan), dan Konselor Iklim dan Hutan Norwegia Marianne Johanssen (kedua kiri) menyampaikan pendapatnya pada pertemuan Program Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum dan PPNS di Sektor Kehutanan dan Sumber Daya Alam di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta. Antara Foto

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarief, mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo soal Omnibus Law. Pada aturan itu, ia menyoroti rencana penghapusan sanksi pidana bagi korporasi. Menurutnya, rencana penghapusan sanksi pidana bagi korporasi merupakan suatu kemunduran dalam sistem peradilan di Indonesia.

Laode menilai sanksi pidana untuk korporasi merupakan suatu hal yang perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, kejahatan yang dilakukan korporasi merupakan perkembangan dari bentuk tindak pidana.

“Dulu Belanda tidak mengakui (hukuman bagi korporasi). Sekarang di KUHP Belanda, jelas sekali ada (hukuman bagi korporasi) itu. Jadi, jangan kita membuat hukum yang kembali ke masa kolonial. Kita sudah milenial, malah kembali ke kolonial," kata Laode saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).

Laode berharap pemerintah dan pemangku kepentingan dapat merumuskan delik pidana dengan baik terkait hukuman bagi korporasi. Selain itu, dia meminta sebelum menerapkan aturan Omnibus Law, perlu ada naskah akademik yang mengkaji aturan tersebut secara baik.

“Kita berharap ada naskah akademik. Jangan ujuk-ujuk langsung keluar pasal-pasal itu dari pemerintah. Naskah akademiknya harus jelas. Siapa timnya yang melakukan itu,” ucap dia.