Marak konflik tambang, Jatam: Proses perizinan berlangsung di ruang tertutup

Regulasi berpihak pada kepentingan korporasi dan pejabat pemberi izin, sehingga warga kehilangan hak veto, untuk menyatakan menolak

Suasana di Desa Wadas dalam penolakan penambangan andesit. Foto @Wadas_Melawan

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut konflik pertambangan di Tanah Air tak lepas dari proses penerbitan perizinan tambang yang berlangsung dalam ruang tertutup, penuh transaksional dan koruptif, serta tidak berangkat dari aspirasi warga. 

Kepala Kampanye Nasional Jatam, Melky Nahar menyebut, fenomena ini terjadi sejak lama dan puncaknya pasca UU Minerba No 4 Tahun 2009 berlaku, di mana bupati/walikota/gubernur/Menteri ESDM memiliki kewenangan yang sama dalam menerbitkan izin tambang.  Hal ini dungkap Melky menyoroti konflik tambang di Desa Wadas, Puworejo atau di Moutong, Parigi, Sulawesi Tengah.

"Kedua, regulasi yang berpihak pada kepentingan korporasi dan pejabat pemberi izin, sehingga warga kehilangan hak veto, untuk menyatakan menolak," kata Melky kepada Alinea.id, Kamis (17/2).

Menurutnya, konflik kemudian terjadi, ketika izin-izin tambang itu masuk dan mencaplok ruang hidup warga. "Muncul resistensi, namun pemerintah mengatasi itu dengan pendekatan keamanan yang selalu represif," ujarnya.

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto sebelumnya berpendapat, berbagai kasus penolakan tambang yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini terkait dengan sentralisasi perizinan, khususnya dari aspek analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Terutama terkait dengan partisipasi masyarakat.