Menaikkan usia hakim MK agar lebih bijaksana dinilai keliru

Indikator seseorang dapat memahami sebuah hukum tidak dapat hanya diukur dari sisi kebijaksanaan dan usia.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) meminta salah satu saksi mandat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk memberikan contoh tanda tangannya di meja hakim, disaksikan pihak terkait (Partai Perindo) dan pihak termohon (KPU), di sidang pembuktian perkara sengketa hasil Pileg 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (30/7). /Antara Foto

Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang sedang dibahas di DPR menuai polemik. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai, dalih menaikkan batasan umur hakim MK agar lebih bijaksana untuk mengambil keputusan dinilai keliru.

Hal tersebut tercantum dalam materi RUU MK Nomor 24 Tahun 2003. "Ini sebuah pandangan yang keliru," kata peneliti PUSaKO, Hemi Lavour Febrinandez, saat konferensi pers yang disiarkan secara virtual, Jumat (28/8).

Menurutnya, indikator seseorang dapat memahami sebuah hukum tidak dapat hanya diukur dari sisi kebijaksanaan dan usia. "Karena setiap orang sama sekali tidak diukur dari umur mereka menjabat atau umur mereka mendaftar sebagai hakim konstitusi," tuturnya.

Diketahui, ketentuan batasan usia menjadi hakim konstitusi tercantum dalam Pasal 87 RUU MK. Pada diktum itu menyebutkan bahwa syarat minimal calon hakim konstitusi berusia 60 tahun dan dapat meneruskan jabatannya hingga 70 tahun.

Menurutnya, syarat tersebut dapat menutup seseorang yang mempunyai kapasitas menjadi hakim konstitusi. Dia menilai, penerapan syarat itu akan mengurangi seorang yang bakal mengisi jabatan hakim MK.