close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
icon caption
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
Politik - MK
Kamis, 01 Mei 2025 12:50

Saat MK "melarang" pemerintah laporkan para pengkritik

Perlu adaptasi progresif merespons putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024.
swipe

Mahkamah Konstitusi (MK) melarang lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi untuk mengadukan dugaan pencemaran nama baik terhadap mereka. Larangan itu termuat dalam putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dibacakan di ruang sidang MK di kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (29/4). 

Putusan itu dikeluarkan menjawab permohonan uji materi atas Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pemohon ialah warga Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan. 

Dalam pertimbangannya, MK mengatakan perlindungan pribadi dan jaminan hak kebebasan berpendapat harus diberikan secara proporsional dan tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap ruang kebebasan sipil. 

Secara substansi, MK berpandangan pasal-pasal yang dipersoalkan pemohon 
punya kesamaan substansi dengan Pasal 433 ayat (1) KUHP.  Namun, Pasal 433 ayat (1) KUHP secara tegas menyatakan pencemaran nama baik itu hanya berlaku jika korbannya merupakan individu, bukan lembaga pemerintah atau sekelompok orang.

"Oleh karena terdapat adanya ketidakjelasan batasan frasa 'orang lain' dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang diserang kehormatan atau nama baiknya, maka norma pasal a quo rentan untuk disalahgunakan," tulis MK dalam pertimbangan putusan.

Pasal 27A UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik, dapat dipidana penjara maksimal dua tahun dan/atau denda maksimal Rp 400 juta.

MK menyatakan bahwa Pasal 27A UU ITE itu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ”orang lain” tidak dimaknai kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan. Dengan demikian, pasal itu hanya bisa dijadikan basis dugaan pencemaran nama baik jika korbannya adalah individu.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai perlu ada adaptasi progesif terhadap putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang melarang institusi negara, korporasi, atau asosiasi profesi melaporkan dugaan pencemaran nama baik terhadap mereka. 

Menurut dia, putusan itu, misalnya, bisa ditindaklanjuti dengan penghapusan substansi Pasal 218 dan 219 KUHP mengatur tentang tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta Pasal 240 dan 241 KUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.

"MK memang tak hapuskan itu. Tetapi, kalau MK bilang pasal-pasal penghinaan menyebabkan iklim ketakutan, harusnya memang dihapuskan. Itu kan satu napas dengan pernyataan MK bahwa penghinaan dilarang untuk melindungi lembaga negara," ucap Maidina kepada Alinea.id, Rabu (30/4).

Berdasarkan catatan SAFEnet, selama periode 2013-2021, terdapat 393 orang yang dituntut dengan pasal-pasal dalam UU ITE. Sepanjang 2021, setidaknya terdapat 30 kasus pemidanaan dengan total 38 korban kriminalisasi.

Salah satu kasus yang paling kontroversial ialah dugaan pencemaran nama baik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) oleh komentator politik Rocky Gerung. Pada 2024, Rocky dilaporkan ke polisi karena umpatan "bajingan yang tolol" saat mengomentari Jokowi yang bolak-balik ke China untuk mempromosikan Ibu Kota Nusantara (IKN). 

Dalam kasus itu, Rocky dinyatakan tak bersalah. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan komentar Rocky bukan bentuk serangan terhadap personal Jokowi, namun terhadap kebijakan pemerintah. 

Pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 tepat. Menurut dia, pejabat negara atau siapa pun yang mewakili lembaga negara semestinya tak bisa memperkarakan individu atau warga negara yang mengkritik kebijakan pemerintah. 

"Karena lembaga itu tidak akan pernah dirugikan termasuk dicemarkan nama baiknya. Karena itu, masyarakat hanya bisa dituntut secara hukum jika mencemarkan pribadi pejabat sepanjang perbuatan dilakukan berkaitan tugas dan kewenangannya," kata Fickar kepada Alinea.id, Rabu (30/4).

Fickar juga sepakat pasal-pasal KUHP yang merinci penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara perlu dihapus sebagai tindak lanjut putusan MK. 

"Jika merujuk pada KUHP yang saat ini berlaku serta putusan MK, maka pasal penghinaan presiden atau wakil presiden, serta pemerintah, telah tidak berlaku," jelas dia. 

Dalam sebuah pesan suara, Rabu (30/4), Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan pemerintah belum menerima salinan putusan MK. Namun, ia menegaskan pemerintah menghormati dan akan menjalankan putusan tersebut.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan