Wacana revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) menggelinding di DPR setelah MK mengeluarkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemisahan pemilu nasional dan lokal. Sejumlah elite politik di DPR mewacanakan kemungkinan revisi UU itu.
Salah satunya ialah anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu berpendapat revisi UU MK dimungkinkan dibahas dengan tujuan membatasi kewenangan lembaga tersebut.
Menurut Khozin, MK kerap mengeluarkan putusan yang melampaui kewenangannya. Ia mencontohkan putusan terbaru yang terkesan mengubah drastis substansi UU Pemilu. Dalam konstitusi, pembentuk undang-undang adalah DPR dan pemerintah.
"Kalau MK dinilai punya kewenangan untuk memproduksi suatu undang-undang, ya, dilegitimasikan saja sekalian. Kira-kira begitu," kata Khozin kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7) lalu.
Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir menegaskan semestinya tidak ada pembahasan mengenai revisi UU MK. Menurut Adies, UU MK telah direvisi oleh DPR periode sebelumnya dan tinggal menunggu pengesahan di rapat paripurna.
“Tetapi, sampai saat ini belum ada pembicaraan dari pimpinan. Kalau ada, kan dia dibahas di rapat pimpinan kemudian di badan musyawarah kan. Tetapi, belum ada,” kata politikus Golkar itu.
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi, dan Masyarakat (SIDEKA) Fakultas Syariah UIN Sultan Aji Muhammad Samarinda, Suwardi Sagama, menilai wacana merevisi UU MK patut dicurigai sebagai upaya mengaburkan atau menegasikan putusan MK yang telah bersifat final dan mengikat.
“Jika memang tidak ada agenda revisi UU MK dalam Prolegnas sebelum keluarnya putusan MK, maka menjadi wajar jika muncul dugaan bahwa revisi ini adalah respons kontra terhadap putusan yang memisahkan pemilu nasional dan lokal,” tegas Suwardi saat dihubungi Alinea.id, Rabu (9/7) lalu.
Menurut Suwardi, mengabaikan putusan MK sama dengan tidak mematuhi konstitusi. Ia menekankan pentingnya menjalankan prinsip pemisahan kekuasaan (trias politika) agar tidak terjadi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan oleh salah satu cabang kekuasaan negara.
“Pembatasan kewenangan MK melalui revisi UU MK jelas merupakan kemunduran dan bentuk perlawanan terhadap konstitusi. MK adalah the guardian of the constitution, membatasi ruang geraknya hanya akan merusak sistem checks and balances,” ujar Suwardi.
Dalam putusannya, MK mewajibkan agar pemilu lokal digelar dengan jeda waktu minimal dua hingga dua setengah tahun setelah gelaran pemilu nasional usai. Menurut Suwardi, aneh jika elite-elite politik ramai-ramai menolak putusan MK soal pemisahan pemilu.
“Jangan sampai kita tebang pilih dalam menanggapi putusan MK. Kalau putusan tentang pencalonan wakil presiden bisa diterima dengan mudah, mengapa putusan soal pemisahan pemilu justru ingin dihindari?” kata Suwardi.
Pengamat kepemiluan Hadar Nafis Gumay menilai putusan MK terkait pemisahan pemilu adalah langkah penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Ia menegaskan bahwa putusan tersebut perlu segera ditindaklanjuti lewat revisi UU Pemilu.
“Putusan ini memberikan kerangka yang jelas. Ini bukan keputusan yang mendadak, tapi bagian dari kelanjutan putusan-putusan MK sebelumnya,” kata Hadar dalam sebuah siniar di Youtube, belum lama ini.
Ia menambahkan bahwa pemisahan waktu antara pemilu nasional dan pilkada memberi banyak manfaat, mulai dari proses yang lebih sehat, waktu evaluasi kinerja pemerintahan, hingga distribusi beban kerja penyelenggara pemilu.
Menurut Hadar, selama ini tumpukan tahapan pemilu dalam satu tahun seperti pada Pemilu 2019 dan 2024 menyebabkan kelelahan luar biasa bagi penyelenggara. Bahkan, tercatat ada ratusan petugas penyelenggara pemilu yang meninggal usai gelaran pemilu serentak.
Hadar mempertanyakan sikap partai politik yang cenderung menolak pemisahan pemilu meskipun manfaatnya akan dirasakan langsung oleh pemilih, penyelenggara, dan peserta pemilu.
“Mungkin ada gangguan terhadap hitung-hitungan politik atau kepentingan jangka pendek, seperti isu perpanjangan masa jabatan atau pilkada via DPRD,” kata dia.