Menggunakan Pasal 207 KUHP harus didahului pengaduan

Polri jangan sewenang-wenang menggunakan Pasal 207 KUHP terkait penghinaan terhadap penguasa.

Petugas kepolisian membubarkan warga yang berkumpul di pinggir jalan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (29/3) malam. Foto Antara/Abriawan Abhe/aww.

Polri tidak bisa sewenang-wenang menggunakan Pasal 207 KUHP terkait penghinaan terhadap penguasa. Hal tersebut, dikatakan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Rasyid Ridha Saragih. Ihwal itu, berkenaan dengan Surat Telegram (ST) Kapolri Nomor: ST/1100/IV/Huk.7.1/2020 tanggal 4 April 2020.

Dia menjelaskan, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006 menyebut penggunaan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa. Oleh sebab itu, rumusan pasal tersebut menjadi delik aduan, bukan delik biasa.

"Jadi, apabila pemerintah yang dihina tersebut tidak mengadukan kasus penghinaan ini, maka tidak dapat dipidana," ujar Rasyid kepada Alinea.id, Jakarta, Senin (6/4).

Melalui ST itu, salah satu instruksi Kapolri Idham Azis adalah, melakukan patroli siber dengan sasaran penyebar hoaks SARS-CoV-2, berita bohong terkait kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi Covid-19, penghinaan kepada penguasa, seperti presiden dan pejabat pemerintah dan penipuan penjualan alat-alat kesehatan serta obat-obatan secara daring.

Menurut Rasyid, jika polisi menggunakan Pasal 207 tanpa didahului pengaduan, maka akan menjadi rancu. Hal ini, tambah dia, seolah-olah menjadikan aparat penegak hukum itu langsung mencari orang yang menghina presiden atau tidak.