Ombudsman: Tidak ada perda atur pengelolaan limbah medis

Kajian Ombudsman menemukan potensi limbah itu tak terolah mencapai 200 ton per hari.

Petugas memindahkan kantong-kantong berisi limbah masker masyarakat dari truk DLH ke truk PT Wastec Internasional di Dipo Sampah Ancol, Jakarta, Rabu (15/7/2020). Foto Antara/Aditya Pradana Putra

Kajian Ombudsman menemukan tidak ada peraturan daerah yang mengatur pengelolaan limbah medis. Padahal, kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Keasistenan Utama Substansi 6 Ombudsman, Mory Yana Gultom, ini berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah (pemda).

"Kemudian berimplikasi pada pengawasan mereka (pemda) yang sangat minim karena memang tidak punya instrumen yang jelas melakukan pengawasan dan penyelenggaraannya," katanya dalam konferensi pers dalam jaringan, Kamis (4/2).

Di sektor regulasi, Ombudsman pun menemukan banyak tempat pembuangan sampah (TPS) yang tidak berizin. Implikasinya, membuat TPS yang menampung limbah medis tak sesuai standar.

Selain hal tersebut, insinerator atau alat membakar sampah yang dipakai fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) juga tidak berizin dan tetap digunakan. Temuan lainnya, di beberapa daerah ada pemahaman berbeda antara dinas lingkungan hidup (DLH) dengan dinas kesehatan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

"DLH misalnya, beranggapan bahwa hasil insinerasi dari pengolahan limbah medis ini merupakan limbah B3. Sementara dinas kesehatan beranggapan bahwa residu atau hasil insinerasi bukan lagi limbah B3, sehingga bisa diberlakukan sebagaimana sampah biasa," ungkap Mory.