Lagi, pengamat minta Menko Marves Luhut buka big data penundaan pemilu

Pemakai aktif twitter di Indonesia hanya di angka 15 jutaan saja, itupun juga masih banyak akun-akun anonim.

Luhut kini dilibatkan menangani Covid-19. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan

Presiden Joko Widodo baru saja menegaskan bahwa pemilu tidak ditunda, tetap berlangsung pada 14 Februari 2024. Hal ini sekaligus menjawab polemik penundaan pemilu yang muncul setelah klaim Menko Marves Luhut Panjaitan bahwa 110 juta masyarakat menginginkan penundaan pemilu, diketahui lewat big data. Namun sampai sekarang dari pihak LBP belum membuka data tersebut, padahal banyak pihak mendorong agar data tersebut dibuka.

Terkait hal ini, pakar keamanan siber Pratama Persadha dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/4) menjelaskan, harus jelas proses bagaimana dan darimana data ini diambil, sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat

“Secara teknis, ada banyak cara mengetahui perbincangan publik di media sosial atau platform internet lainnya. Karena itu, kita perlu bertanya 110 juta yang disampaikan Pak Luhut ini mengambil data dari platform apa dan bagaimana metodologinya. Perlu disampaikan ke publik, agar kita bisa menilai sejauh mana, sekaligus membuka ruang diskusi,” terang Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) itu.

Digarisbawahi Pratama, harus jelas sumber data dari pembicaraan masyarakat ini. Misalnya bila mengambil dari Twitter, karena pemakai aktif twitter di Indonesia kini hanya di angka 15 jutaan saja, itupun juga masih banyak akun-akun anonim. Jadi tidak mungkin data 110 juta tersebut berasal dari Twitter.

“Bila mengambil dari Twitter ini jelas tidak cukup, bahkan dari hasil riset CISSReC menggunakan Open Source Intelligence (OSINT) akun Twitter yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan 3 kali periode di kisaran 117.746 (Tweet, Reply, Retweet) dan mencapai 11.868 pemberitaan online. Dari data keduanya diketahui yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60% dan pro 16,40%. Sedangkan pada media online dengan kontra sebesar 76,90% dan pro 23,10%. Dari data ini saja sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu,” jelas Pratama.