Perjalanan reforma agraria di Indonesia

Konflik tanah adalah salah satu ekses yang timbul dari kegagalan negara mengejawantahkan UUP Agraria, yang dipetieskan sejak era Soeharto.

Petani membajak sawah menggunakan traktor untuk mempersiapkan tanam padi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (28/3)./ Antarafoto

Sejak zaman kolonial, problem agraria selalu berkelindan dengan realitas sosial masyarakat. Pengamat agraria Mochammad Tauhid berujar, agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, sebab dari situlah makanan berasal. Perebutan tanah berarti perebutan makanan serta tiang hidup manusia. Tak heran jika banyak yang rela berjibaku mempertahankan tanah dan terlibat konflik, kendati harus kehilangan banyak hal.

Konflik tanah adalah salah satu ekses yang timbul dari kegagalan negara mengejawantahkan hukum positif ihwal agraria. Dalam konteks kekinian, Historia mengklaim merebaknya konflik tanah karena UUP Agraria Tahun 1960 dipetieskan sejak era Soeharto. Kemudian diperparah dengan “pembangkangan” turunan hukum agraria setelah itu. Padahal UUPA sendiri dinilai sudah cukup komprehensif mewadahi segala problem agraria di tanah air.

Jika bicara sejarah, jauh sebelum kemerdekaan, aturan hukum yang berlaku saat itu, UU Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet) sudah meletakkan dasar hukum bagi kolonialis Belanda. Tujuan pemberlakuan aturan itu guna memfasilitasi akumulasi modal perusahaan Eropa yang berinvestasi di Hindia Belanda, lewat perkebunan kapitalis yang memproduksi komoditas ekspor. Menurut catatan Alec Gordon (2010), formasi sosial Hindia Belanda dari 1870 hingga 1942 yang bercorak lahan produksi ekspor seperti kopi dan gula, memang sengaja didesain untuk meningkatkan surplus penerimaan Hindia Belanda ke Belanda.

Alih-alih mewujudkan reforma agraria, sistem perkebunan kolonial ditandai dengan paksaan ekstra ekonomi dalam rangka penyediaan tanah dan tenaga buruh murah. UU ini juga memfasilitasi pemberian hak konsesi perkebunan pada perusahaan asing. Gordon menyebut UU buatan kolonialis tersebut menjadi karpet merah bagi para koorporasi yang hendak berinvestasi.

Usai Belanda keok dan kolonialis Jepang melakukan penetrasi ke Indonesia, maka cita-cita reforma agraria kian jauh panggang dari api. Rakyat menurut catatan Noer Fauzi Rachman (2012) dipaksa menyerahkan hasil pertanian, makanan, dan hasil kerja pada Jepang. Tipu daya Jepang yang ingin membantu rakyat untuk merebut tanah partikelir, perkebunan asing, dan tanah hutan rupanya hanya diarahkan untuk menambah modal perang melawan sekutu.