Politik uang masih menjadi momok penyelenggaraan Pemilu

Proses hukum yang tuntas dan sanksi tegas diperlukan untuk memutus praktik politik uang.

Diskusi Membongkar Kejahatan Money Politic pada Pilkada 2018 : Antara Regulasi dan Tradisi di Jalan Duren Tiga Raya, Jakarta Selatan, Selasa (10/7). (Robi Ardianto/Alinea)

Politik uang (money politic) masih menjadi momok serius dalam penyelengaraan Pemilu di Indonesia. Berdasarkan data temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terdapat 35 kasus politik uang yang telah diproses pada Pilkada 2018 lalu.

Pengamat Pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Ade Reza Haryadi mengatakan, politik uang merupakan kejahatan serius dan terorganisir. Menurutnya, praktik ini menjadi hulu bagi perilaku koruptif dalam kekuasaan, yang terbentuk dari proses Pilkada maupun Pileg dan Pilpres. 

"Ini mesti menjadi atensi serius bagi stakeholder dan penyelengara Pemilu. Baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, maupun penegak hukum untuk mengusut, menuntaskan, bahkan memastikan, setiap dugaan tindak money politic," kata Ade kepada Alinea usai diskusi "Membongkar Kejahatan Money Politic pada Pilkada 2018 : Antara Regulasi dan Tradisi di Jalan Duren Tiga Raya, Jakarta Selatan, Selasa (10/7).

Ade menegaskan pentingnya untuk menindaklanjuti praktik hitam ini, dengan penanganan hukum yang serius. Dia menilai selama ini kasus-kasus politik uang tak mendapat penanganan prioritas, sehingga mengakibatkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu. Hal ini berbahaya, karena meruntuhkan kualitas demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada.

Pengacuhan terhadap praktik politik uang juga sama saja dengan menggadaikan kekuatan rakyat di tangan kekuatan modal. Kondisi ini akan membuat kekuatan modal dapat mendikte kekuasaan dan menggunakan kekuasan untuk kepentingan akumulasi modal.