Sengkarut integrasi BRIN: Layanan mati suri, periset mati kutu

Hingga kini, masih banyak periset dan peneliti eks LPNK yang belum punya pekerjaan jelas di BRIN.

Ilustrasi kapal riset Baruna Jaya. Alinea.id/Debbie Alyuwandira

Rumput liar tumbuh subur di sudut kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek), Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Ilalang setinggi dengkul orang dewasa mengerubungi makmal bahan semai milik laboratorium Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sebuah alat sensor pemantauan awan hujan yang terpasang di depan laboratorium TMC pun dikelilingi belukar. Semut dan belalang tampak hilir-mudik di atas peralatan tersebut. Alat-alat yang biasanya rutin beroperasi itu terancam rusak. 

“Ya, begini. Kondisinya (makmal) tidak terurus karena tidak ada tenaga honorer (akibat diputus oleh BRIN) sejak awal tahun ini,” ucap seorang petugas yang minta identitasnya dirahasiakan saat berbincang dengan Alinea.id di area Gedung Puspitek, Selasa (18/1).

Laboratorium terasa senyap. Hanya suara derum mesin freon alat pendingin udara yang terdengar. Alat penyemai garam bernilai miliaran rupiah di ruangan itu bak pajangan. Garam semai sisa riset terbungkus rapi di dalam drum dan plastik.

Sejak awal tahun, periset dan perekayasa di laboratorium itu sama sekali tak beraktivitas. Padahal, kegiatan penggilingan garam semai rutin dilakukan sebelum BRIN mengakuisisi makmal tersebut. Sebagian besar alat semai yang terbuat dari besi dan alumunium itu terancam karatan.