Sentimen agama rentan dieksploitasi di tahun politik

Usman memprediksi politik kebencian berpotensi untuk dikapitalisasi di tahun politik, apalagi untuk kepentingan 2019.

Ilustrasi palu keadilan/Pixabay.com

Tahun 2017 dianggap sebagai penanda berkembangnya politik kebencian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Politik kebencian ini melahirkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) baru yang disponsori oleh aktor negara dan non-negara.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan politik kebencian di Indonesia merupakan salah satu dari rangkaian fenomena global berupa lahirnya pemimpin populis kanan. Mereka mengeksploitasi retorika kebencian seperti yang dilakukan oleh Donald Trump di Amerika Serikat, Rodrigo Duterte di Filipina, Narendra Modi di India, Tayyip Erdogan di Turki dan Vladimir Putin di Rusia untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mereka keluarkan.

"Di Indonesia sendiri, politik kebencian tersebut mengeksploitasi sentimen moralitas, agama, dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non negara yang mengajak pengikut mereka dan masyarakat luas untuk membenci yang dianggap berbeda," kata Usman, Kamis (22/2).

Usman menjelaskan, politik kebencian dipakai untuk memecah belah masyarakat demi mencapai tujuan tertentu, seperti yang terjadi di Pilkada Jakarta 2017. Menurutnya, politik pembelahan ini membawa dampak sosial dan politik berkepanjangan.

Selain kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, kasus lainnya ialah yang menimpa Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) setelah tiga pimpinannya divonis bersalah.