"Supaya tidak ada lagi Haris dan Fatia lainnya..."

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan semakin marak.

Ilustrasi aksi unjuk rasa terkait konflik agraria. /Foto Instagram @tanahuntukrakyat

Kasus-kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan semakin marak. Merujuk catatan Auriga Nusantara, setidaknya ada 133 kasus strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia sejak 2014 hingga 2023. 

Khusus 2023, tercatat ada 30 kasus SLAPP, naik dari angka tahun sebelumnya yang mencapai 24 kasus. Kriminalisasi terhadap pembela lingkungan merupakan kasus yang paling mendominasi dengan 82 kasus, diikut kekerasan fisik (20 kasus), intimidasi (15 kasus), pembunuhan (12 kasus), imigrasi atau deportasi (2 kasus), dan perusakan properti (2 kasus). 

"Sejauh ini, memang ada beberapa upaya perlindungan terhadap pembela lingkungan oleh negara. Namun, upaya perlindungan tersebut muncul secara sporadis dan berupa aturan teknis yang sangat mungkin diabaikan bila dibenturkan dengan peraturan di atasnya," tulis Auriga Nusantara dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, beberapa waktu lalu. 

Menurut Auriga, angka itu hanya puncak gunung es. Pasalnya, data jumlah kasus dikompilasi dari ruang publik dan yang dilaporkan ke Auriga. Besar kemungkinan jumlah kasusnya jauh lebih besar karena korban tidak melapor atau kasusnya tidak tercatat di ruang publik. 

"Tak sedikit juga peraturan perundangan yang justru membuka ruang ancaman terhadap pembela lingkungan seperti UU ITE yang memenjarakan kritik dengan dalih nama baik, UU Minerba yang memasukkan protes pertambangan sebagai tindakan kriminal," tulis Auriga.