Bukan cuma klaster ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja harus ditunda seluruhnya

RUU Cipta Kerja juga dinilai tidak selaras dengan janji pemerintahan Joko Widodo yang akan melaksanakan reforma agraria.

Sejumlah buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menolak _GERAM_ melakukan aksi unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/03/20). Foto Antara/Arnas Padda.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai keputusan pemerintah dan DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, tak menghilangkan ancaman dalam rancangan regulasi tersebut. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, permasalahan RUU Omnibus Law tersebut bukanlah klaster per klaster.

“Dengan menunda pembahasan RUU Cipta Kerja hanya untuk klaster ketenagakerjaan dan tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster lainnya, maka pembahasan RUU ini tetap menjadi ancaman besar bagi petani, buruh tani, buruh kebun, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin di desa maupun kota,” ucap Dewi dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id di Jakarta, Senin (26/4).

Menurut Dewi, RUU Cipta Kerja tidak selaras dengan janji pemerintahan Joko Widodo yang akan melaksanakan reforma agraria, memenuhi hak petani atau tanahnya, dan menyelesaikan konflik agraria struktural. Sebab, RUU Cipta Kerja malah menempatkan tanah dan hutan sebagai komoditas belaka.

RUU Cipta Kerja dinilai mengubrak-abrik hal-hal prinsipil yang bersifat melindungi keselamatan masyarakat, karena memuluskan proses perampasan tanah. Sementara proses pengadaan tanah untuk kawasan nonpertanian dipangkas dengan mengubah UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

“Ia bermaksud mempersingkat proses perolehan ijin untuk mengkonversi tanah pertanian ke fungsi-fungsi non pertanian yang diajukan investor. Bapak Presiden, alhasil jika RUU ini disahkan, akan dengan mudah menghilangkan tanah-tanah pertanian keluarga,” ujar Dewi.