UU Perkawinan tidak mengakomodir perkawinan beda agama, benarkah?

Mahkamah Konstitusi sedang melakukan uji materi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.

Ilustrasi cinta beda agama. Alinea.id/Bagus Priyo.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memandang, dalil permohonan untuk pengujian Undang-Undang Perkawinan tidak berdasar. Hal itu disampaikan dalam tanggapan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, dalil pemohon yang pada intinya menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama oleh negara, seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama. Sebab, sesuai risalah rapat pembahasan undang‑undang, pembuat undang-undang menormakan praktik perkawinan yang dilakukan setiap pemeluk agama yang memadukan unsur perkawinan menurut tata cara agama atau disebut dengan istilah religious marriage. 

“Dengan demikian, DPR berpandangan, dalil pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama tertentu oleh negara kepada warga negaranya, adalah dalil yang tidak berdasar,” kata Arsul dalam situs Mahkamah Konstitusi, yang dikutip Selasa (7/6). 

Ia menyampaikan, negara berperan memberikan perlindungan pada setiap warganya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal ini merupakan perwujudan serta bentuk jaminan keberlangsungan hidup manusia. 

“Dengan demikian perkawinan tidak dapat dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan undang‑undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” jelas Arsul.