Riset karhutla: Warganet yang kecewa pada pemerintah

Pemerintah, masyarakat, petani, perusahaan perkebunan dan HTI mata rantai yang tidak terputus terkait langsung dengan kebakaran hutan.

Seekor orang utan (Pongo pygmaeus) berada di lokasi pra-pelepasliaran di Pulau Kaja, Sei Gohong, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (19/9/2019). Sebanyak 37 orang utan yang dirawat di pusat rehabilitasi Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival) di Nyaru Menteng, Palangka Raya, terjangkit infeksi saluran pernafasan akibat menghirup kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan./Antara Foto

Neraka dunia. Begitulah mungkin kiasan yang dapat menggambarkan kondisi Pulau Sumatera dan Kalimantan saat ini. 

Panas, pengap dan perih membekap di dua pulau tersebut lebih dari sebulan. Memang, asap sempat padam, tapi hanya sesaat. Setelah beberapa hari, kembali api membara melahap sejumlah hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan.  

Kebakaran hutan dan lahan ini telah membumihanguskan ekosistem tropika basah. Padahal ekosistem tersebut selama ini justru menjadi sumber keanekaragaman jenis yang bermanfaat bagi kehidupan mahluk hidup dengan menghilangkan sumber plasma nurfah, sumber makanan, sumber air, paru-paru dunia bahkan pertahanan dan keamanan negara. 

Terengutnya hidup sejumlah satwa liar seperti: orangutan dan ular piton yang bangkainya sempat viral di media sosial cukup menyayat hati. Belum lagi, mendengar kabar seorang bayi berusia empat bulan meninggal akibat terindikasi penyakit  infeksi saluran pernapasan akut atau Ispa. 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Ratri Kusumohartono pun meluapkan kekecewaannya kepada pemerintah yang dinilai belum tegas terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Ratri menyebut, pemerintah cenderung melakukan pembiaran karhutla setiap tahunnya dan mengorbankan masyarakat.