YLBHI: RUU KUHP baru masih berbau kolonial

"Ini lebih menyakitkan, masyarakat dijajah bangsa sendiri lewat RUU KUHP ini," ujar Ketua YLBHI Asfinawati.

Diskusi terkait revisi KUHP di Jakarta. Alinea.id/Fadli Mubarok

DPR RI dan pemerintah sempat mengklaim bahwa rencana pembuatan RUU KUHP didasari guna dekolonialisasi KUHP lama. Bagi DPR RI dan pemerintah, dalam KUHP lama masih sangat beririsan dengan ajaran Belanda yang bertolak belakang dengan NKRI.

Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, pernyataan tersebut tidak pas jika dinyatakan sebagai latar belakang akan perubahan RUU KUHP. Pasalnya, menilik pasal-pasal yang termaktub dalam RUU KUHP, nyatanya masih banyak yang mencerminkan kebijakan kolonial.

"Ini kontradiktif ya. Mau dekolonialisasi kesannya malah mau bangun kolonial versi Indonesia. Ini lebih menyakitkan, dijajah bangsa sendiri jadinya masyarakat lewat regulasi ini kalau melihat materi yang ada sekarang," papar Asfinawati di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/9).

Sebagai contoh pada pasal yang mengatur mengenai unggas yang dimuat dalam Bagian Ketujuh Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan Pasal 278 RUU KUHP. Dikatakan Asfinawati sejatinya aturan ihwal unggas ini telah ada dalam KUHP lama. Parahnya aturan mengenai unggas dalam RUU KUHP sekarang lebih ketat.

"Dia ini kan sudah ada di Undang-undang yang lama. Makannya saya pertanyakan, ini apa benar mau mengikuti semangat kolonial atau tidak? Kalau semangatnya untuk menghilangkan kolonialisme tapi masih mengambil pasal-pasal kolonial, apa bedanya?" tanyanya.