Cuaca ekstrem membuat MLS unik tapi menyiksa

Beberapa pemain memakai penutup rambut. Eduard Atuesta, gelandang LAFC asal Kolombia, mengenakan pelindung tepat di bawah matanya.

LAFC kalah 0-3 dari Real Salt Lake diterpa badai salju. Foto Kelvin Kuo-USA Today Sports

Laga Real Salt Lake atas Los Angeles FC dalam lanjutan Liga Utama Amerika (MLS) pekan lalu terlihat seperti pertandingan yang tidak masuk akal. 22 Pemain berlari memperebutkan bola, sementara mereka terus diguyur salju. Lapangan pun tidak hijau lagi, melainkan berselimut putih. Para pemain harus belari-lari dalam suhu dingin yang menusuk tulang. Dalam kondisi lapangan licin, para pemain lebih banyak memikirkan cara agar tidak tergelincir ketimbang mendapatkan bola. Unik, tetapi menyiksa.

Setelah laga yang dimenangkan Real Salt Lake 3-0 itu sebagian kalangan yang terlibat di liga itu pun kembali mewacanakan perubahan kalender pertandingan di MLS. Mereka tidak ingin lagi melihat pemandangan seperti di laga itu terjadi lagi di sepak bola kasta tertinggi Negeri Paman Sam tersebut.

Laga di bawah guyuran salju dinilai lebih banyak membawa derita, terutama bagi para pemain. Mantan kiper Tottenham Hotspur yang kini memperkuat LAFC, Hugo Lloris contohnya.

Jika Lloris berharap untuk menjalani masa semi-pensiun setelah pindah ke Los Angeles, debutnya untuk LAFC akan terasa sangat memuaskan. Kiper 36 tahun itu membuat tujuh penyelamatan yang menjadi rekor klub dalam kemenangan atas Seattle Sounders di bawah sinar matahari California pada akhir pekan pembukaan musim MLS 2024.

Namun sepekan kemudian, pada laga tandang pertamanya sejak pindah ke AS, Lloris mengalami kejadian kurang nyaman. Karena sarung tangan kipernya lebih berfungsi sebagai pencegah radang dingin daripada alat bantu untuk menghentikan tembakan. Dia terpaksa memungut bola berwarna oranye neon dari jaring gawangnya tiga kali di babak pertama setelah badai salju mendadak turun dan suhu mendekati titik beku menerpa lapangan pertandingan.