close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Skuat timnas Indonesia tengah berlatih di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Minggu (23/3/2025)./Foto Instagram @erickthohir
icon caption
Skuat timnas Indonesia tengah berlatih di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Minggu (23/3/2025)./Foto Instagram @erickthohir
Sosial dan Gaya Hidup - Olahraga
Selasa, 21 Oktober 2025 13:09

"Tumbuh" dan "hancur" timnas Indonesia bersama pelatih Belanda

Ada yang dikenang, ada pula yang dibenci.
swipe

Beberapa waktu lalu, PSSI memutuskan kerja sama dengan pelatih asal Belanda Patrick Kluivert setelah gagal membawa Indonesia lolos dari babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, kalah bersaing dengan Arab Saudi dan Irak. Dengan “pemulangan” Kluivert, artinya mantan striker Barcelona itu hanya bekerja selama 10 bulan.

Padahal, banyak penggemar sepak bola menganggap, di bawah pelatih Korea Selatan Shin Tae-yong, timnas Indonesia berada dalam jalur yang benar, setelah mengalahkan Arab Saudi di Stadion Gelora Bung Karno 2-0 di lanjutan babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.

Kluivert bukan satu-satunya pelatih asal Belanda yang memoles tim nasional sepak bola Indonesia. Sebelumnya, skuad Garuda pernah dilatih enam pelatih Belanda, antara lain Johannes Christoffel Jan Mastenbroek sewaktu masih menjadi Hindia Belanda (1934-1938), Wiel Coerver, Frans van Balkom, Henk Wullems, Wilhelmus Gerardus Rijsbergen, dan Pieter Egge Huistra.

Dari Hindia Belanda hingga era Balkom

Johannes Christoffel Jan Mastenbroek dikenal karena membawa tim sepak bola Hindia Belanda dalam turnamen sepak bola terbesar di dunia, Piala Dunia 1938 di Prancis. Sebelum ke laga akbar itu, di bawah Nederlandsch-Indische Voetbal Unie (NIVU), membawa timnya untuk uji coba di Belanda. Mereka dijadwalkan melawan timnas Belanda. Orang yang mengatur pertandingan itu adalah tokoh sepak bola Belanda terkenal, Karel Lotsy.

“Di tengah gerimis, para pesepak bola Hindia Belanda tiba di Den Haag pukul 10.45 pagi, 18 Mei (1938),” tulis Algemeen Dagblad, dikutip dari Javapost.

“Yang pertama dan terpenting adalah makan bersama nasi khas Indonesia, lengkap dengan lauk Eropa.”

Para pemain juga sempat berlatih di atas kapal dari Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Skuad yang dibawa rata-rata berusia 22 tahun, terdiri dari 17 pemain: satu orang Jawa, tiga Tionghoa, tiga Ambon, dua Sumatera, dan delapan Indo-Eropa.

Di Belanda, mereka beruji coba melawan HBS De Haag berakhir seri 2-2 dan Haarlem menang 5-3. Pada 1 Juni 1938, mereka berangkat ke Prancis untuk menghadapi Hongaria di Piala Dunia. Pertandingan melawan timnas Belanda sendiri digelar pada 26 Juni 1938 di Stadion Olimpiade Amsterdam—setelah laga di Piala Dunia. Hindia Belanda kalah 9-2.

Pada 6 Juni 1938, tim asuhan Jan Mastenbroek menghadapi Hongaria di hadapan 9.000-20.000 penonton di Stadion Velodrome Municipale, Reims, Prancis. Tim turun dengan seragam oranye, celana putih, dan kaus kaki biru muda. Lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus” dikumandangkan sebelum pertandingan dimulai.

Skuad terdiri atas Mo Heng Tan, Achmad Nawir, Hong Djien Tan, Suvarte Soedarmadji, Jack Samuels, Frans Hukom, Anwar Sutan, Frans Meeng, Hans Taihitu, Henk Zomers, dan Tjaak Pattiwael.

Pemain sepak bola Hindia Belanda di Deventer, Belanda pada 1938./Foto javapost.nl

Sumatra Post menulis, kekalahan 6-0 dari Hongaria disebabkan tim yang tampil terlalu lemah, kurang padu, minim taktik, dan kalah fisik. “Secara individu, para pemain bagus—terutama Frans Meeng yang sangat menonjol—tetapi dalam permainan posisi, Hongaria jauh lebih unggul,” tulis Sumatra Post.

Seminggu setelah pertandingan, para pemain mengeluh tentang permainan keras Jongaria dan bola yang dianggap terlalu lunak. “Di Hindia, kami biasa memakai bola keras,” ujar mereka.

Wiel Coerver menjadi pelatih Belanda selanjutnya. Dia melatih timnas Indonesia pada 1975, setelah sukses dengan klub Belanda Feyenoord. De Telegraaf, 18 April 1975 melaporkan, kiper keturunan Belanda Van der Vin ditugaskan Ketua Umum PSSI Bardosono untuk ke Amsterdam, Belanda membawa surat perjanjian dan menemui Coerver. Van der Vin membujuk Coerver membesut timnas Indonesia, usai pelatih bertangan dingin itu tak menemui kesepakatan kontrak dengan Feyenord.

“Asosiasi (PSSI) sangat membutuhkan pelatih yang terampil untuk membawa Indonesia kembali ke tempat asalnya, yaitu level Asia,” kata van der Vin dalam de Telegraaf.

Tugas pertama Coerver tak main-main. Dia diberi tanggung jawab meloloskan timnas Indonesia dari babak kualifikasi Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada. Meski begitu, Coerver gagal mewujudkan mimpi itu, usai kalah bersaing dengan Korea Utara di partai puncak kualifikasi.

Awal 1980, Coerver tak lagi menjabat pelatih timnas Indonesia. Dilaporkan Limburgsch edisi 15 Februari 1980, dia berselisih dengan pengurus PSSI. Akibatnya, dia dipecat dari posisinya. Penggantinya adalah Frans van Balkom—mantan rekan sekotanya di Kerkrade, Belanda. Sebelumnya, dia menangani klub NIAC Mitra Surabaya.

Disebut Dutch Australian Cultural Centre, Balkom awalnya hanya penambang batu bara di Limburg. Dia lantas bermain di klub ternama di Kerkrade, Rapid JC.

Balkom kemudian pindah ke Australia pada 1961, bermain untuk Wilhelmina—klub sepak bola migran Belanda di Melbourne. Karier bermainnya berakhir pada pertengahan 1960-an karena cedera lutut serius, akibat pengalaman bertahun-tahun merangkak di terowongan tambang.

Sebelum ke Indonesia, dia melatih klub Belanda di Melbourne, Abel Tasman (1967), lantas mengambil kursus kepelatihan di Jerman Barat. Kemudian melatih Yomiuri FC (sekarang Tokyo Verdy) di Liga Jepang tahun 1973-1976, lalu melatih timnas Hong Kong. Shahbaz Tehran di Iran adalah klub terakhir yang dilatih, sebelum ke NIAC Mitra Surabaya.

Menurut tokoh sepak bola nasional Kadir Jusuf dalam buku Sepak Bola Indonesia: Sistem Blok, Total Football, Mencetak Gol, Catenaccio (1982), Balkom melatih timnas ke turnamen pra-Olimpiade Moskwo grup 2 Asia pada 1980 di Kuala Lumpur, Malaysia.

“(Balkom) menerapkan retreating defence. Jauh sebelumnya juga sudah dibawa Tony Pogacnik ke Indonesia. Versi van Balkom, para pemain, termasuk pemain sayap, langsung mundur secepat mungkin ke daerah sendiri dan baru dari sana mulai membayangi lawan,” tulis Kadir.

Pada Juni 1980, karier Balkom di timnas Indonesia berakhir. Dia dipecat federasi. “Saya disebut telah bersikap kasar kepada sekretaris (umum) PSSI,” kata Balkom kepada Tempo, 21 Juni 1980.

Pelatih Belanda Henk Wullems./Foto De Telegraf, 6 Agustus 1973.

Sukses Henk Wullems dan gaduh Rijsbergen

Henk Wullems tercatat pelatih Belanda selanjutnya yang menangani timnas Indonesia. Dia sukses di Liga Indonesia bersama Bandung Raya dan Pelita pada pertengahan 1990-an. Lalu, ditunjuk sebagai pelatih skuad Merah Putih pada Mei 1997.

“Ajaibnya, saya berhasil menanamkan sedikit disiplin di tim. Laga pertama kami berakhir imbang 1-1 melawan Uzbekistan. Itu pertandingan kualifikasi Piala Dunia (1998),” kata Wullems kepada media Belanda Algemeen, 3 Juli 1998.

“Saat itu, saya masih memakai pemain peninggalan pelatih sebelumnya, baru setelah itu saya bisa mengubah skuad. Tapi permainan kami sungguh luar biasa, seharusnya bisa menang 5-1 atau 6-1. Kami punya strikter Rocky (Putiray), yang bahkan dari garis gawang pun gagal mencetak gol. Tapi orang-orang langsung berkata, ‘Lihat, sejak mister Henk datang, permainan tim jauh lebih baik’. Ada juga yang bilang, Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia kalau saya datang lebih awal. Tapi terus terang saja, kualitas pemain saat itu belum sampai ke sana.”

Di bawah asuhannya, Indonesia melaju hingga final SEA Games. Timnas Indonesia kalah lewat adu penalti melawan Thailand di Stadion Gelora Bung Karno. Kerusuhan membuat Wullems terpaksa meninggalkan Jakarta pada Juni 1998. Dengan pengawalan polisi, tentara, dan staf kedutaan mengawal Wullems untuk dievakuasi menuju bandara, meninggalkan Indonesia.

Selanjutnya, pelatih Belanda Wilhelmus Gerardus Rijsbergen menangani timnas Indonesia pada 2011. Namun, hanya sebentar. Di tangannya, situasi timnas tak kondusif. Kala itu, Rijsbergen punya tanggung jawab dalam kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia, satu grup bersama Bahrain, Qatar, dan Iran.

Menurut pakar komunikasi Tjipta Lesmana dalam buku Bola Politik dan Politik Bola: Ke Mana Arah Tendangannya? (2013) Rijsbergen mengeluarkan kalimat mengejek skuad Garuda usai kalah 2-0 di Stadion Gelora Bung Karno pada September 2011. Hal itu membuat Bambang Pamungkas dan kawan-kawan geram.

“Wim berulah bahwa beberapa pemain tim nasional Indonesia sebetulnya belum pantas berlaga di pentas internasional,” tulis Tjipta.

“Dan ia merasa tidak bertanggung jawab atas susunan pemain tim nasional karena yang menyusunnya adalah Alfred Riedl, pelatih sebelumnya.”

Menurut Tjipta, Rijsbergen mencari kambing hitam untuk mengelak dari tanggung jawab kekalahan timnas atas Bahrain. Bambang selau kapten kesebelasan mengajukan protes dan mengancam mogok bermain jika pelatih timnas tak diganti.

Menariknya, sehari sebelum mengeluarkan ancaman itu, Bambang dan beberapa pemain bertemu Riedl di sebuah restoran. “Tudingan pun muncul kalau ulah Bambang dan kawan-kawan menyerang Rijsbergen merupakan ahsil provokasi Riedl karena mungkin dia kecewa dipecart mendadak oleh pengurus baru PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin,” tulis Tjipta.

Dalam bukunya Bepe20 Pride (2014) Bambang menjelaskan, dia bersama Firman Utina dan Markus Horison bertemu Riedl pada 7 September di sebuah restoran di Jakarta, sehari setelah laga melawan Bahrain. Pertemuan mereka bertujuan perpisahan dengan Riedl yang akan berangkat ke Laos.

Pemain timnas Indonesia merayakan kemenangan saat melawan Thailand di final leg pertama Piala AFF 2016./Foto PSSI.org

“Namun, tidak ada sedikit pun ucapan dari Alfred yang memprovokasi kami untuk melawan Wim Rijsbergen, seperti yang beredar di media,” tulis Bambang dalam artikel berjudul “Suatu Sore di Roemah Rempah".

“Faktanya, kabar tentang tujuh pemain yang menolak bermain di bawah asuhan Wim sudah muncul sejak malam setelah pertandingan pada 6 September. Sedangkan pertemuan kami baru terjadi keesokan harinya, 7 September sore.”

Polemik berakhir ketika PSSI mencopot jabatan Rijsbergen sebagai pelatih, serta dipindah menjadi direktur teknik dan supervisor pada awal 2012.

Pelatih Belanda selanjutnya, yang terakhir sebelum Kluivert, adalah Pieter Egge Huistra. Awal Mei 2015, dia ditunjuk sebagai pelatih sementara untuk menyiapkan pemain ke Piala AFF, kualifikasi Piala Dunia 2018, dan Piala Asia 2019. Namun, belum juga bertanding, dia harus menerima kenyataan FIFA memberikan sanksi kepada PSSI pada akhir Mei 2015 karena intervensi Kementerian Pemudan dan Olahraga (Kemenpora) terhadap federasi.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan