Rumor Jepang bakal meninggalkan AFC, apa penyebabnya?
Japan Football Association (JFA) atau Federasi Sepak Bola Jepang dikabarkan sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk keluar dari Asian Football Confederation (AFC) atau Konfederasi Sepak Bola Asia—organisasi yang menaungi sepak bola di Asia—karena ketidakpuasan terhadap cara pengelolaan dan berbagai keputusan yang dianggap tidak adil.
Menurut saluran televisi Irak UTV, dikutip dari media Vietnam VN Express, Jepang bakal membentuk organisasi baru bernama East Asian Confederation (EAC) atau Konfederasi Sepak Bola Asia Timur.
Apa pemicunya?
Disebut VN Express, ketidakpuasan Jepang berawal dari cara AFC menyelenggarakan turnamen kontinental, terutama AFC Champions League Elite, yang merupakan versi Asia dari Liga Champions Eropa.
Pada musim 2024/2025, mulai dari babak perempat final hingga final, semua pertandingan dimainkan di Arab Saudi. Keputusan ini dinilai merugikan tim-tim Asia Timur, seperti Yokohama F. Marinos dan Kawasaki Frontale, terutama karena jarak perjalanan yang jauh dan dampaknya terhadap kondisi fisik pemain.
“Musim ini, babak-babak akhir kompetisi juga diperkirakan akan kembali digelar di Arab Saudi,” tulis VN Express.
Salah satu peristiwa paling kontroversial terjadi ketika klub Shandong Taishan asal China memutuskan mundur dari turnamen di tengah musim lalu dengan alasan kesehatan. AFC lalu membatalkan seluruh hasil pertandingan yang melibatkan Shandong, sehingga Vissel Kobe asal Jepang, yang semula berada di posisi ketiga, turun ke peringkat kelima.
Akibatnya, klub itu harus menghadapi lawan yang lebih kuat, yakni Gwangju dari Korea Selatan, di babak gugur. Akhirnya, mereka tersingkir lebih awal.
“Yang lebih mengejutkan, meskipun seluruh hasil pertandingan Shandong telah dihapus, Vissel Kobe tetap didenda 10.000 dolar AS karena insiden perkelahian dalam laga melawan klub asal China itu,” tulis VN Express.
“Banyak pakar sepak bola Jepang menilai hal ini sebagai bukti standar ganda dan kurangnya transparansi AFC dalam menangani kasus tersebut.”
Tidak hanya di level klub, timnas Jepang juga bisa mendapat keuntungan jika JFA benar-benar memisahkan diri dari AFC. Pemain-pemain seperti Takefusa Kubo (Real Sociedad, Spanyol) dan Daichi Kamada (Cristal Palace, Inggris) sering kali harus menempuh perjalanan jauh dari Eropa ke Asia untuk bergabung dalam latihan, yang tentu menguras tenaga. Dengan membentuk federasi baru atau menata ulang struktur turnamen regional dan kualifikasi Piala Dunia, sepak bola Asia Timur berpotensi menjadi lebih mandiri dan efisien.
UTV pun menyebut, JFA menentang praktik keberpihakan dan manipulasi di dalam tubuh AFC, yang dinilai sangat dipengaruhi kekuatan finansial Qatar dan Arab Saudi.
Negara mana saja yang akan terlibat?

Jika rencana pembentukan federasi baru benar-benar terwujud, menurut UTV—mengutip VN Express—Irak disebut mempertimbangkan untuk bergabung.
Menurut akun Instagram media Irak, SP7 SP7, Korea Selatan pun mengumumkan niat mereka untuk keluar dari AFC. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap apa yang disebut “skandal dan ketidakadilan yang terus berulang.”
Akun SP7 SP7 pun menyebut, federasi sepak bola Indonesia atau PSSI dikabarkan tengah melakukan koordinasi dengan Oman Football Association (OFA) atau Federasi Sepak Bola Oman.
Indonesia tak hanya disebut dalam akun Instagram SP7 SP7. Dalam akun X Japan Football News disebut, Jepang frustasi dengan uang dan korupsi Timur Tengah di AFC. “Jepang, Korea Selatan, China, Korea Utara, dan mungkin Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Singapura—jika itu (membentuk federasi baru) terjadi, aliansi ini bisa menjadi aliansi yang sangat kuat,” tulis akun X Japan Football News.
Apa saja yang dianggap ketidakadilan AFC?
Akun Instagram SP7 SP7 pun menyebut, AFC dianggap telah kehilangan semangat keadilan dan kesetaraan peluang, serta dinilai berpihak pada dua negara, Qatar dan Arab Saudi, yang mendominasi segalanya. Selama 14 tahun terakhir, Qatar sudah dua kali menjadi tuan rumah Piala Asia dan sekali tuan rumah Piala Dunia, sementara Arab Saudi dijadwalkan menjadi tuan rumah Piala Asia 2027 dan Piala Dunia 2034.
Seluruh turnamen Asia—baik untuk tim nasional maupun klub—kini banyak digelar di Qatar dan Arab Saudi. Kedua negara itu disebut telah “memesan” seluruh turnamen masa depan, menguasai sponsor, memengaruhi keputusan AFC, termasuk dalam hal perwasitan, serta memonopoli posisi kepemimpinan di dalam organisasi tersebut.
Kejanggalan yang baru-baru ini terjadi adalah ditunjuknya Qatar dan Arab Saudi menjadi tuan rumah babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Padahal, misalnya di Afrika, Confederation of African Football (CAF) menunjuk Maroko sebagai tempat netral untuk tim-tim yang lolos babak play-off Piala Dunia 2026, seperti Nigeria, Kamerun, Gabon, dan Kongo.
Pelatih Irak Graham Arnold sempat melontarkan protes terhadap format kualifikasi Piala Dunia 2026 ini, usai timnya kalah bersaing dengan tuan rumah Arab Saudi.
“Bukan kebetulan jika tim-tim yang mendapat jeda enam hari (Qatar dan Arab Saudi) di setiap grup justru berhasil lolos. Selama karier kepelatihan saya, saya belum pernah melihat format seperti ini,” ujar Arnold, dikutip dari Reuters.
“Hal yang sama juga terjadi di grup lain. Qatar lolos setelah mendapat libur enam hari, ditambah dengan dukungan penuh sebagai tuan rumah.”
Menurut The Guardian, sudah ada rumor kalau Arab Saudi dan Qatar akan dipilih sebelum AFC mengumumkannya pada Juni lalu. Meski mendapat banyak protes dari beberapa kontestan yang lolos di babak keempat kualifikasi, Qatar dan Arab Saudi tetap menjadi tuan rumah pada pertandingan yang digelar enam tim—termasuk Indonesia—tanggal 8-14 Oktober lalu.
Belum lagi, skandal masa lalu. Misalnya, dikutip dari VOA News, tahun 2014 Qatar dituduh “membeli” kemenangannya sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, saat keputusan itu dibuat pada Desember 2010. Sunday Times of London melaporkan, pada 1 Juni 2014 mantan wakil presiden FIFA, membayar total 5 juta dolar AS untuk menyuap beberapa orang yang memilih Qatar daripada Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Australia.

Apakah pindah federasi pernah terjadi?
Sejarah menunjukkan, perpindahan konfederasi kontinental bukan hal yang mustahil. Israel misalnya, yang pindah dari AFC ke Union of European Football Associations (UEFA). Israel Football Association (IFA) yang berdiri pada 1948, awalnya bergabung dengan AFC pada 1956.
Prestasi mereka cukup baik di Asia. Namun, menurut DAZN, di luar lapangan beberapa negara seperti Turki (yang belum bergabung dengan UEFA), Indonesia, dan Sudan menolak bermain melawan Israel di kualifikasi Piala Dunia 1958 karena pendudukannya terhadap Palestina. Boikot itu terus berlanjut.
Pada 1974, sebuah resolusi yang diusulkan Kuwait disahkan AFC, dan Israel diusir. Selama hampir dua dekade, tim sepak bola Israel terkatung-katung, tidak dapat bermain di kompetisi global atau kontinental besar. Akhirnya, pada 1991 UEFA mengizinkan Israel berkompetisi di bawah naungan asosiasi Eropa itu.
Australia juga pindah dari Oceania Football Confederation (OFC) ke AFC. Dikutip dari Goal, perpindahan itu terjadi pada 2005, setelah timnas Australia frustasi terus-menerus gagal lolos Piala Dunia akibat kerap berpartisipasi dalam play-off antarbenua.
Namun, jika banyak negara sekaligus meninggalkan AFC, hal itu akan menjadi peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.


