Pele: Warisan dan sisi gelap sang Beethoven sepak bola 

Menyusul Garrincha dan Maradona, Pele tutup usia. Sepanjang hidup, Pele telah membukukan berbagai rekor.

Penyerang Brasil, Pele, merayakan gol ke gawang Italia dalam laga final Piala Dunia 1970 di Meksiko. /Foto dok. FIFA

Sekitar 200 ribu orang memenuhi Stadion Maracana, Rio de Jenairo, Brasil, pada petang 16 Juni 1950 itu. Di lapangan, tim nasional Brasil tengah menjamu Uruguay dalam laga penentu juara Piala Dunia. Dihelat dalam format round-robin, tim Samba kala itu hanya butuh hasil seri untuk memastikan diri jadi kampiun. 

Skor kaca mata tercipta pada babak pertama. Pada awal babak kedua, Brasil unggul lebih dulu lewat sepakan Friaca. Uruguay mampu menyamakan kedudukan lewat gelandang serang Juan Alberto Schiaffino pada pertengahan babak kedua. Sekitar 11 menit menjelang akhir laga, winger Alcides Ghiggia mencetak gol penentu kemenangan bagi La Celeste, julukan Uruguay.

Di kediamannya di Bauru, sebuah kota kecil di Sao Paulo, João Ramos do Nascimento "menyaksikan" jalannya laga final itu dari siaran radio. Dondinho, nama beken Joao Ramos saat masih merumput bersama Fluminense, tak kuasa menahan tangis ketika mendengar wasit meniup peluit tanda berakhirnya laga. Mimpi jadi kampiun di rumah sendiri kandas sudah.

Isak tangis sang ayah didengar Edson Arantes do Nascimento, putra Dodinho yang baru berusia 9 tahun. Edson, kelak dikenal dengan sebutan Pele di lapangan hijau, baru saja pulang setelah puas bermain di luar rumah seharian. 

“Jangan menangis, Ayah. Suatu hari, aku akan memenangkan Piala Dunia untukmu," tulis Pele seperti dikutip dari memoir bertajuk Why Soccer Matters: A Look at More Than Sixty Years of International Soccer yang terbit pada 2015 lalu.