Sepanjang 2024, LPSK menerima 439 permohonan restitusi dengan nilai mencapai Rp7,5 miliar.
Penerapan restitusi atau ganti rugi bagi korban perdagangan manusia belum sepenuhnya efektif meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) sudah berlaku selama lebih dari dua dekade.
Sebagaimana diatur dalam UU TPPO, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat diambil dari aset pelaku atau dari dana abadi korban yang diatur negara jika pelaku tidak mampu membayar restitusi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan persoalan restitusi kepada korban TPPO merupakan salah satu ketentuan yang belum terlaksana dengan baik dalam UU TPPO. Padahal, UU TPPO adalah regulasi pertama yang mengakomodasi mekanisme restitusi sebelum UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Permasalahannya ada di ranah implementasi. Kami menemukan bahwa hanya dua dari 38 putusan sampai MA (Mahkamah Agung). Jadi, sekitar total seratus putusan lebih yang mengatur dan memutus restitusi dengan perampasan dan pelelangan aset. Dalam putusan-putusan tersebut, tentang perampasan dan pelelangan, ternyata enggak dijelaskan bagaimana implementasinya," kata Maidina kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Maidina, pengadilan dan pemerintah masih didera kebingungan ketika ingin menetapkan mekanisme restitusi. Selain tidak ada ketentuan jelas mengenai mekanismenya, pelaku yang diadili kerap menyasar "orang" lapangan yang tidak memiliki aset sepadan untuk ganti rugi korban.