Beberapa waktu lalu, Polresta Banda Aceh mengejar dua tersangka yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yang diduga kuat masih berada di Malaysia. Selain dua DPO, polisi sudah menangkap satu tersangka yang hendak kabur ke Malaysia. Para tersangka ini diduga telah menjual seorang gadis Aceh berusia 16 tahun ke Malaysia untuk dijadikan pekerja seks komersial (PSK).
TPPO memang masih menjadi persoalan serius. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat, dari 2020 hingga Maret 2024, ada 3.703 orang Indonesia yang menjadi korban kejahatan online scamming, di mana 40% dari jumlah tersebut terindentifikasi sebagai korban TPPO. Data Bareskrim Mabes Polri menyebut, sepanjang 2023, Polri sudah menangani 1.061 kasus TPPO dengan jumlah korban mencapai 3.363 orang.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan mencatat, sepanjang 2018 hingga 2024 terdapat 70 pengaduan terkait TPPO terhadap perempuan. Kasus-kasus tersebut menunjukkan pola eksploitasi yang beragam, mulai dari penipuan dalam proses perekrutan, penyekapan, kerja paksa, hingga kekerasan seksual. Perempuan dan anak-anak paling rentan menjadi korban tindak pidana tersebut.
Menurut Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerentanan ini, di antaranya ketimpangan struktural berbasis gender dan budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat.
“Ketimpangan struktural, seperti kemiskinan, terbatasnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan layak, serta lemahnya sistem perlindungan bagi perempuan, membuat mereka mudah menjadi sasaran TPPO,” kata Yuni kepada Alinea.id, Rabu (25/6).
Dia menambahkan, ketimpangan kultural juga turut memperparah situasi. Perempuan kerap dianggap sebagai komoditas yang dapat dikontrol, dieksploitasi, dan diperdagangkan. Kondisi ini terutama dialami pekerja migran Indonesia (PMI) perempuan, yang bekerja di sektor informasl, seperti kerja domestik atau perawatan—sektor-sektor yang minim pengawasan dan perlindungan hukum. Sementara itu, anak-anak rentan menjadi korban TPPO karena posisi sosial mereka yang rawan dan mudah dimanipulasi.
Komnas Perempuan menyoroti minimnya akses korban terhadap keadilan, layanan pemulihan, serta perlindungan dari negara. Maka dari itu, perlu perbaikan sistemik, termasuk peningkatan perlindungan hukum, edukasi publik, dan penguatan layanan pendukung bagi korban TPPO.
Dihubungi terpisah, aktivis perempuan Siti Aminah Tardi melihat, TPPO melibatkan tiga elemen utama, yakni proses, cara, dan tujuan. Tujuan utama dari TPPO sendiri adalah eksploitasi, yang mencakup pemaksaan pelacuran, perbudakan, kerja paksa, hingga penjualan organ tubuh. Ironisnya, sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
“Perempuan dan anak dalam masyarakat Indonesia masih diposisikan sebagai subordinat. Mereka memiliki ketergantungan dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun di ruang publik,” ujar mantan komisioner Komnas Perempuan ini, Kamis (26/6).
Eksploitasi seksual, kata dia, diperparah oleh pandangan kultural yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Hal ini menjadikan mereka sebagai komoditas dalam perdagangan manusia. Termasuk menyasar anak-anak perempuan sebagai objek seksual.
Dalam aspek kerja paksa, menurut Siti, banyak perempuan menjadi korban karena terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang layak. Kondisi ini membuat mereka rentan menerima tawaran bekerja di luar negeri secara tidak prosedural, yang kerap berujung pada praktik eksploitasi.
Untuk mencegah masyarakat agar tak terjebak dalam bujuk rayu para calo atau pelaku perdagangan orang, Siti menekankan, edukasi menjadi kunci utama. Namun, edukasi saja tidak cukup, bila tidak dibarengi dengan peran aktif negara. Dia menambahkan, peningkatan pendidikan, baik formal maupun informal, serta pengetahuan tentang pola dan modus TPPO sangat penting.
“Negara harus hadir dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak, terutama bagi perempuan,” tutur Siti.
“Masyarakat harus dibiasakan untuk mencari dan menyilang informasi ketika menerima tawaran pekerjaan yang terlalu menjanjikan.”