close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Perdagangan Anak (Sumber: pixabay.com)
icon caption
Ilustrasi Perdagangan Anak (Sumber: pixabay.com)
Peristiwa
Selasa, 05 Agustus 2025 15:00

Restitusi yang adil bagi korban TPPO masih dinanti

Sepanjang 2024, LPSK menerima 439 permohonan restitusi dengan nilai mencapai Rp7,5 miliar.
swipe

Penerapan restitusi atau ganti rugi bagi korban perdagangan manusia belum sepenuhnya efektif meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) sudah berlaku selama lebih dari dua dekade. 

Sebagaimana diatur dalam UU TPPO, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat diambil dari aset pelaku atau dari dana abadi korban yang diatur negara jika pelaku tidak mampu membayar restitusi.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan persoalan restitusi kepada korban TPPO merupakan salah satu ketentuan yang belum terlaksana dengan baik dalam UU TPPO. Padahal, UU TPPO adalah regulasi pertama yang mengakomodasi mekanisme restitusi sebelum UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). 

"Permasalahannya ada di ranah implementasi. Kami menemukan bahwa hanya dua dari 38 putusan sampai MA (Mahkamah Agung). Jadi, sekitar total seratus putusan lebih yang mengatur dan memutus restitusi dengan perampasan dan pelelangan aset. Dalam putusan-putusan tersebut, tentang perampasan dan pelelangan, ternyata enggak dijelaskan bagaimana implementasinya," kata Maidina kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Menurut Maidina, pengadilan dan pemerintah masih didera kebingungan ketika ingin menetapkan mekanisme restitusi. Selain tidak ada ketentuan jelas mengenai mekanismenya, pelaku yang diadili kerap menyasar "orang" lapangan yang tidak memiliki aset sepadan untuk ganti rugi korban.  

"Implementasi restitusi ini bermasalah dan salah satunya itu karena bahwa memang 71% penegakan hukum UU TPPO itu menyasar pelaku lapangan yang mana pelaku lapangan pun juga enggak punya aset yang mumpuni untuk membayarkan restitusi kepada korban," kata Maidina.

ICJR, kata Maidina, mendorong agar ada restitusi didorong supaya bersumber dari dana abadi bantuan korban. Pelaku yang berstatus ekonomi lemah, bisa diwajibkan berutang kepada negara untuk membayar ganti rugi terhadap korban kejahatannya. 

"Harusnya korban mendapat jaminan restitusi, terlepas dari kemampuan ekonomi pelaku. Negara lewat jaksa yang menegakan kepada pelaku untuk membayar restitusi sebagai hutang. Tetapi, korban tidak perlu bergantung pada status ekonomi dari pelaku," kata Maidina. 

Sebelumnya, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Achmadi mengungkapkan LPSK menerima 439 permohonan restitusi dengan nilai mencapai Rp7,5 miliar pada 2024. Namun, tidak semua permohonan dikabulkan oleh majelis hakim di persidangan. 

"Kalaupun dikabulkan, besarannya sering kali tidak sesuai dengan hasil perhitungan. Dan meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap, banyak pelaku yang enggan menjalankan kewajibannya," kata Achmadi kepada wartawan di Kantor LPSK, Jakarta, Kamis (31/7) lalu. 

Dalam lima tahun terakhir, LPSK telah menerima 2.373 permohonan perlindungan bagi korban TPPO. Achmadi menilai banyaknya jumlah permohonan menandakan semakin banyak korban TPPO yang berani bersuara dan mencari perlindungan. 

Peningkatan paling siginfikan terjadi pada 2023. Ketika itu, laporan permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK mencapai 1.297 permohonan. "Ini juga menunjukkan bahwa kesadaran terhadap isu TPPO dan keberadaan LPSK semakin meluas," ujar Achmadi.
 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan