close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kegiatan prostitusi. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi kegiatan prostitusi. Alinea.id/Dwi Setiawan
Peristiwa
Senin, 04 Agustus 2025 11:00

Cybersex trafficking mengintai di jagat maya

Praktik-praktik eksploitasi seksual di ruang siber perlu diakomodasi di UU TPPO.
swipe

Praktik-praktik eksploitasi seksual di ruang siber kian marak. Bentuknya beragam, mulai dari produksi konten seksual seperti pornografi digital, siaran langsung (livestreaming) aktivitas seksual secara paksa, hingga pembuatan dan distribusi materi pelecehan seksual terhadap anak.

Hal itu menjadi salah satu temuan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam riset bertajuk "Cybersex Trafficking: Penelitian Awal Perkembangan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kontemporer di Indonesia." 

Peneliti ICJR Audrey Kartisha Mokobombang mengatakan cybersex trafficking merujuk pada bentuk perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual di ruang siber. Korbannya sering kali adalah anak-anak dan perempuan. 

"Tren perdagangan orang di ruang siber saat ini semakin kompleks, terlebih lagi menyasar perempuan dan anak. Cybersex trafficking sudah menjadi modus operandi baru yang berkontribusi signifikan pada perluasan praktik eksploitasi seksual secara daring," kata Audrey kepada Alinea.id di Jakarta, Minggu (3/8) lalu. 

Temuan ICJR serupa dengan SAFEnet. Pada 2024, SAFEnet mencatat terdapat 1.902 aduan kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang terjadi pada perempuan dan laki-laki. Jenis KBGO tertinggi ialah ancaman penyebaran konten intim (51,16%), diekor sekstorsi (22,92%), dan non-concentual intimates images (14.2%). KBGO lainnya, semisal morphing, falming, doxing berbasis gender. 

Audrey mengatakan tak semua bentuk eksploitasi seksual di ruang siber bisa dikategorikan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Salah satu aspek yang perlu dihitung ialah ada atau tidaknya eksploitasi atau pemaksaan terhadap korban.  

"Pertama, seseorang bisa disebut tidak terjebak atau bukan korban TPPO jika konsen yang diberikan secara sungguh-sungguh. Dalam artian, individu itu tidak di bawah pengaruh, tipuan, paksaan langsung atau secara langsung untuk mengambil keputusan bekerja dan mereka masih memiliki keleluasaan untuk menarik ulang persetujuan tersebut kapan pun," kata Audrey. 

Kedua, relasi kuasa. Menurut Audrey, korban yang jadi target dalam cybersex trafficking biasanya rentan secara ekonomi sehingga dalam posisi yang mudah dieksploitasi. Dalam konteks cybersex trafficking, banyak korban yang diiming-imingi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang normal. 

"Namun, setelah terlibat dalam pekerjaan tersebut, ternyata mereka dipaksa melakukan pekerjaan yang mengharuskan mereka untuk terjerat dalam aktivitas seksual di ruang siber. Bahkan, mereka berpotensi direviktimisasi. Jadi, mereka dipaksa untuk memperluas praktik tersebut dengan merekrut orang," kata Audrey. 

Audrey menilai fenomena cybersex trafficking perlu diakomodasi ke dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). UU TPPO yang ada saat ini masih hanya baru mengatur eksploitasi seksual secara konvensional. 

"Proses cybersex trafficking biasanya dimulai dari proses perekrutan bisa jadi terjadi via iklan-iklan yang tersebar di internet. Eksploitasi seksualnya terjadi di ruang siber, tapi TPPO-nya terjadi secara fisik," kata Audrey. 

Mantan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Latifah Iskandar sepakat perlu ada pembaharuan pada UU TPPO. Aliansi LSM anti-perdagangan orang perlu berkerjasama memetakan masalah perdagangan orang termukhtahir sebagaimana dulu kelompok LSM anti-perdagangan orang merancang UU TPPO pada kurun 2006-2007. 

"Perdagangan orang belakangan terakhir makin banyak rupanya. Perlu ada revisi dalam UU TPPO. Sebenarnya UU TPPO dulu progresif karena melibatkan banyak LSM. Sampai saya dituduh oleh mitra dari pemerintah, saya condong memihak pada LSM dalam menyusun RUU TPPO," kata Latifah kepada Alinea.id.  

Pada 2006, Latifah ialah Ketua Pansus RUU TPPO di DPR. Ia sepakat cybersex trafficking perlu diatur dalam UU TPPO sebab perdagangan orang melalui perangkat siber semakin menggila. Tetapi, harus dipastikan bahwa TPPO yang diatur bukan prostitusi dalam perspektif profesi yang dipilih secara sadar oleh seseorang. 

"Sementara perspektif lainnya adalah melihat prostitusi itu sebagai sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari perdagangan orang. Kata kunci yang membedakan prostitusi yang dilakukan secara sadar dan dengan praktik perdagangan orang adalah pada eksploitasi," kata Latifah.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan