Ambang batas dinilai petaka demokrasi di Indonesia

Dalam risetnya, Ward menemukan, tidak ada kaitan partai politik berkoalisi dilandasi kesamaan ideologi.

Sejak Agustus 2019, lima ketua umum partai politik terpilih secara aklamasi. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan

Presidential threshold atau ambang batas perolehan suara partai politik untuk mengajukan calon presiden (capres) merupakan pangkal masalah dari sistem demokrasi Indonesia. Demikian disampaikan Kepala Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor

"Saya kira, presidential threshold adalah suatu petaka, karena ada ketentuan untuk berkoalisi dan untuk berkoalisi itu lah kemudian terjadi politik mahar, jual beli perahu dan itu adalah praktik korupsi tentu saja," ujar Firman dalam webinar bertajuk "Partai Politik, Politik Uang, dan Kemunduran Demokrasi," yang disiarkan di akun YouTube LP3ES, Selasa (26/1).

Sementara itu, peneliti Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), Ward Barenschot menerangkan, terdapat empat asumsi partai politik berkoalisi untuk mendukung suatu calon pimpinan negara.

Pertama, tertarik atau selaras dengan ideologi partai politik lain. Kedua, terikat dalam koalisi politik nasional. Ketiga, mencari patronasi untuk mengakses kekayaan negara. Keempat, mencari uang dari calon pimpinan negara atau mahar politik.

Seluruh asumsi itu, merupakan hipotesis dari riset yang dilakukan KITLV dalam kontestasi pilkada pada medio 2005-2018 terkait koalisi partai di Indonesia. Dalam riset itu, Ward menyimpulkan, ada kecenderungan partai politik berkoalisi hanya untuk mencari uang.