Dalil agama versus fatwa politis dalam Pilkada 2018

Ibarat air dan minyak, ulama dan pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah dua hal yang kontras.

Sejumlah ulama beserta masyarakat berdoa bersama saat Istighosah dan Tabligh Akbar di alun-alun Kudus, Jawa Tengah, Senin (25/6). Kegiatan yang diikuti sejumlah ulama, Polisi, santri dan masyarakat umum tersebut sebagai bentuk harapan dan doa bersama agar Pilkada Jawa Tengah 2018 pada Rabu (27/6) mendatang berjalan aman dan damai. / Antara Foto

Ibarat air dan minyak, ulama dan pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah dua hal yang kontras. Tidak mungkin dipaksakan menyatu dalam satu paket, karena air (ulama) itu dingin (mendinginkan), sedangkan minyak (pilkada) licin (menggelincirkan).

Namun, momentum tahunan "pilkada" selalu saja berusaha memaksa adanya penyatuan air dan minyak yang sulit itu, sehingga air yang terkontaminasi (tercemar) oleh minyak tersebut akhirnya menyulut api yang menjalar kemana-mana.

Momentum tahunan itu tidak terjadi sekarang saja. Namun terjadi sejak awal perjuangan mendirikan republik tercinta hingga kini, meski terbukti bahwa ikhtiar menyatukan keduanya selalu gagal dan menemui jalan buntu, bahkan justru menyisakan "api" konflik di mana-mana.

Ikhtiar mengatur "jarak" antara ulama/tokoh agama dengan pilkada umumnya dilakukan dengan sejumlah larangan, di antaranya pelarangan penggunaan tempat ibadah untuk kampanye, seperti pura dalam peraturan kampanye yang dirumuskan KPU Bali.

"Secara etika, kegiatan politik di areal pura tidak diperbolehkan, mengingat acuannya adalah tempat suci itu harus steril dari kegiatan politik," kata Wakil Ketua PHDI Bali, Drs Ketut Pasek Swastika di Denpasar, dilansir Antara, Selasa (26/6).