sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Calon tunggal di Pilkada rentan jadi oligarki

Dari 171 provinsi, kabupaten, dan kota yang menggelar pemilu, sebanyak 16 calon di daerah di Indonesia akan melawan kotak kosong.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 25 Jun 2018 21:37 WIB
Calon tunggal di Pilkada rentan jadi oligarki

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 yang tinggal dua hari lagi akan dilaksanakan di 171 daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Dari 171 daerah tersebut, calon di 16 daerah di Indonesia akan melawan kotak kosong.

Ke-16 daerah tersebut adalah Deli Serdang, Padang Lawas Utara, Kota Prabumulih, Pasuruan, Lebak, Tangerang, Kota Tangerang, dan Tapin. 

Kemudian ada Minahasa Tenggara, Bone, Enrekeng, Kota Makassar, Mamasa, Mamberano Tengah, Puncak, dan Jayawijaya.

"Daerah dengan satu pasangan calon ini adalah hal yang biasa, tetapi, kemudian satu calon tunggal ini ada legal standing yang diberikan MK bagi pemantau untuk mewakili para pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan," ucap Kepala Biro Teknis dan Hupmas KPU RI Nursyarifah, di kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi, Senin (25/6).

UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur perolehan suara 50% plus 1% bagi calon tunggal untuk dinyatakan sebagai pemenang. Jika yang terjadi sebaliknya, maka dinyatakan tidak ada pemenang dalam proses Pilkada tersebut.

Sementara itu, jabatan bupati atau walikota di daerah tersebut, akan diisi pejabat bupati atau walikota yang ditunjuk oleh gubernur.

Ditemui di tempat terpisah, Ketua Bidang Kampanye Strategis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan, memandang calon tunggal tersebut dengan cara yang berbeda. Menurutnya, para calon tunggal tersebut telah dipilih oleh mayoritas fraksi di parlemen. 

"Sekarang sudah ada mekanisme dia melawan kotak kosong, tapi berkaca di Pati, hampir 90% parlemen mendukung calon tunggal, berarti yang lain tidak punya suara," kata Arip saat ditemui Alinea, Senin (25/6). 

Sponsored

Arip mengkhawatirkan hal tersebut semacam oligarki atau kartel politik ketika semua partai atau mayoritas partai di suatu daerah sudah sepakat mengusung satu calon. "Kalau ini jadi, maka tidak ada lagi yang jadi oposisi nanti," katanya.

Adanya calon tunggal tersebut ia pandang akan membuat demokrasi menjadi buruk. "Kalo parlemen sama eksekutif satu suara, bagaimana nanti mengakomodir kepentingan-kepentingan grass root," imbuhnya. 

Berita Lainnya
×
tekid