GBHN potensial rusak sistem presidensial 

Upaya menghidupkan kembali GBHN melawan arah jarum jam sejarah.

Sejumlah anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7). /Antara Foto

Ide menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu ditolak. Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Agil Oktaryal, ide menghidupkan kembali GBHN berbahaya jika direalisasikan. 

Agil menyebut ada sejumlah argumentasi yang bisa digunakan untuk menolak wacana tersebut diwujudkan. Pertama, kebangkitan GBHN potensial merusak sistem presidensial yang berkembang dan terus dimatangkan pada era Reformasi.

"Jika GBHN kembali dihidupkan, pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem yang sudah dibangun selama ini," ujar Agil dalam diskusi bertajuk 'Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa?' di Upnormal Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (14/8). 

Dalam naskah asli UUD 1945, GBHN disebut di sejumlah pasal. Pada Pasal 3 misalnya, disebutkan bahwa 'Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bisa memberhentikan presiden apabila presiden tidak melaksanakan GBHN.' 

Menurut Agil, kebangkitan GBHN bakal menjadi upaya melawan arus sejarah. "Penghapusan GBHN dalam UUD 1945 bukan tanpa alasan. Apabila tidak belajar dari sejarah dengan membangkitkan GBHN, maka peluang pengulangan sejarah melalui pemakzulan presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi," kata dia.