Kasak-kusuk pencopotan jabatan Ketua KPU Arief Budiman

Pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU oleh DKPP menimbulkan polemik. Sudah tepatkah keputusan DKPP?

Ilustrasi Arief Budiman. Alinea.id/Oky Diaz.

Pada Rabu (13/1) Majelis Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) membacakan putusan Nomor 123/2020, yang memberikan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua KPU kepada Arief Budiman. Mulanya, DKPP menerima aduan dari seseorang bernama Jupri yang menilai kehadiran Arief menemani Evi Novida Ginting Manik di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 17 April 2020 melampaui wewenang.

Saat itu, Evi mendaftarkan gugatan usai diberhentikan DKPP sebagai anggota KPU pada 18 Maret 2020 karena dinilai melanggar kode etik. Arief pun menerbitkan Surat KPU Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020, dengan menambah klausul meminta Evi aktif kembali sebagai anggota KPU periode 2017-2022, setelah Evi memenangkan gugatan di PTUN.

Dilansir dari RumahPemilu.org, DKPP menganggap Arief telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan menerbitkan surat yang meminta Evi aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU. Surat itu pun dinilai tak dibuat berdasarkan keputusan bersama secara collective collegial. Lalu, isi surat juga dinilai berbeda dengan Surat KPU Nomor 664-668/2020 yang dikirimkan KPU ke DKPP, Bawaslu, Kementerian Dalam Negeri, Ketua DPR, dan Ketua Komisi II DPR.

Tindakan Arief yang mendampingi Evi juga dinilai DKPP terkesan tak bisa menempati statusnya sebagai Ketua KPU. Di samping itu, mengesankan KPU sebagai lembaga utama yang melakukan perlawanan terhadap DKPP. Arief pun dianggap melanggar sejumlah pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

Dinilai berlebihan