Kembalinya trah Cendana ke panggung politik

Berkaca dari masa lalu, kembali pada Soehartoisme yang otoriter, dinilai sebagai kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.

Soeharto dalam sebuah lawatan politiknya/ Soehartocenter

Soeharto tak pernah benar-benar pergi. Kerinduan akan sosok presiden kedua Indonesia itu pertama digaungkan jelang SBY makzul. Rilis survei Indobarometer pada 2011 bahkan menyebut, popularitas Soeharto mengalahkan SBY. Di tahun yang sama, buku "Soeharto, the Untold Stories" yang menggambarkan sisi humanis mantan jenderal itu dari kacamata 133 tokoh, diluncurkan. Romantisme pada Soeharto terus direproduksi di era pemerintahan berikutnya, terutama saat tensi politik meninggi, usai Jokowi terpilih jadi RI-1. Pun ia masih dianggap sebagai komoditas politik yang seksi bagi Anies-Sandi di Pilkada DKI lalu.

Jargon "Piye Kabare, Isih Penak Zamanku" hadir di ruang-ruang publik, mulai dari toilet umum, truk barang, hingga kaos yang dikenakan balita. Politik nostalgia 'lebih enak era Soeharto' ini akhirnya memberi tempat bagi aktor politik lama untuk unjuk gigi lagi, termasuk keturunan Soeharto. Mereka yang tampil kembali antara lain Tomy Soeharto, Siti Hardianti Rukmana atau yang akrab disapa Tutut, dan Titik Soeharto.

Kembalinya Soeharto lewat keturunannya, sebenarnya adalah cerita lama. Sempat terjegal di sana-sini, namun kini ketiganya mantap memasuki gelanggang politik. Titik Soeharto, melenggang ke Senayan dari perwakilan daerah pemilihan Yogyakarta. Sementara putri sulung Soeharto, Tutut pernah menjajal dunia politik dengan berkiprah di Golkar. Karier politik di partai beringin itu dikukuhkan lewat dukungannya secara terang-terangan pada Prabowo Subianto dalam pilpres 2014. Di partai yang didirikan ayahnya ini, Tutut menjabat sebagai wakil ketua umum di era Bakrie 2014-2019.

Berbelok dari Golkar yang tak memberinya ruang lebih, ia balas dendam dengan mendukung Anies-Sandi sebagai calon pemimpin DKI. Sebelumnya pada 2004 ia digadang-gadang jadi calon presiden Partai Karya Peduli Bangsa yang didirikan oleh KSAD TNI Jenderal Hartono. Kini Tutut disebut-sebut turut ambil bagian dari pendirian parpol Garuda, yang dipimpin Ahmad Ridha Sabana, Direktur TPI, yang notabene adalah perusahaan Tutut.

Hasrat Tutut berpartisipasi dalam panggung kekuasaan bukan tanpa alasan. Ia berharap oligarki tumbuh kembali dalam alam demokrasi di tanah air. Majalah TEMPO bahkan menulis, alasan Tutut dan keluarga Cendana lain bangkit adalah ingin mewujudkan Indonesia yang kembali pada UUD 1945 sebelum amandemen, dimana kekuasaan presiden berlaku seumur hidup.