Pakar: Pasal penghinaan presiden dalam RKUHP harus jelas

Rumusan pasal penghinaan presiden tidak boleh multitafsir, bisa picu masalah baru.

Presiden RI Joko Widodo/Alinea.id

Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden yang dimasukkan dalam Rancangan Kitab Udang-Undang Kita Hukum Pidana (RKUHP) tidak boleh multitafsir.

Rumusan RKHUP, kata Suparji, harus memenuhi tiga prinsip, yakni lex scripta (hukum pidana tersebut harus tertulis), lex certa (rumusan delik pidana harus jelas), dan lex praevia (hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut).

"Rumusan pasal dalam hukum harus jelas dan tegas, tidak boleh ada yang bias atau multitafsir yang justru akan memunculkan masalah baru," tutur Suparji dalam keterangannya, Selasa (8/6).

Suparji mengaku sependapat jika penghinaan presiden menjadi delik aduan absolut. Ia menegaskan, jika menjadi delik umum, maka rawan terjadi penafsiran hukum yang cenderung subjektif.

"Kalau delik aduan artinya penghinaan harus dilaporkan oleh presiden sendiri atau pihak yang mendapat kuasa dari presiden. Simpatisan atau pendukung tidak bisa secara serta merta melaporkan jika ada dugaan penghinaan presiden, tetapi harus mendapat kuasa dari presiden," jelas dia.