sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pakar: Pasal penghinaan presiden dalam RKUHP harus jelas

Rumusan pasal penghinaan presiden tidak boleh multitafsir, bisa picu masalah baru.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 08 Jun 2021 13:22 WIB
Pakar: Pasal penghinaan presiden dalam RKUHP harus jelas

Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden yang dimasukkan dalam Rancangan Kitab Udang-Undang Kita Hukum Pidana (RKUHP) tidak boleh multitafsir.

Rumusan RKHUP, kata Suparji, harus memenuhi tiga prinsip, yakni lex scripta (hukum pidana tersebut harus tertulis), lex certa (rumusan delik pidana harus jelas), dan lex praevia (hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut).

"Rumusan pasal dalam hukum harus jelas dan tegas, tidak boleh ada yang bias atau multitafsir yang justru akan memunculkan masalah baru," tutur Suparji dalam keterangannya, Selasa (8/6).

Suparji mengaku sependapat jika penghinaan presiden menjadi delik aduan absolut. Ia menegaskan, jika menjadi delik umum, maka rawan terjadi penafsiran hukum yang cenderung subjektif.

"Kalau delik aduan artinya penghinaan harus dilaporkan oleh presiden sendiri atau pihak yang mendapat kuasa dari presiden. Simpatisan atau pendukung tidak bisa secara serta merta melaporkan jika ada dugaan penghinaan presiden, tetapi harus mendapat kuasa dari presiden," jelas dia.

Dia menambahkan, norma yang dirumuskan harus diatur secara jelas dan detail tentang teknis pengaduan. Juga harus bisa dibedakan mana ujaran kebencian, mana yang kritik, mana membela diri atau mana yang untuk kepentingan umum.

"Jangan sampai ada pengaduan warga negara hanya karena perbedaan pendapat. Pemahaman filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap apa itu penghinaan, hate speech dan kritik sangat diperlukan," ucapnya.

Untuk itu, jelasnya, harus diperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, yang pada pokoknya membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

Sponsored

Kepada masyarakat, Suparji berpesan agar memberikan kritik yang membangun dan tidak menggunakan ujaran kebencian. "Sampaikan kritik secara rasional, konstruktif, dengan elegan dan data yang jelas. Bukan hanya dengan emosional, maki-maki atau penghinaan," pungkas Suparji.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, draf RKUHP yang beredar di masyarakat belakangan ini bukan draf baru. Menurutnya, pemerintah belum menyerahkan draf terbaru ke DPR setelah RKUHP batal disahkan pada September 2019.

Arsul menerangkan, sejak pengesahan RKUHP ditunda, pemerintah dan DPR belum mengeluarkan revisi atas naskah RKUHP yang disetujui pada September 2019. Kata dia, hingga kini belum ada draf final RKUHP karena pemerintah dan DPR masih terus memperbaiki draf yang sudah ada.

Berita Lainnya
×
tekid