Poros ketiga, hanya mengatrol nilai tawar 

Poros ketiga jika ada, hanya berguna untuk menaikkan nilai tawar dua poros yang sudah eksis sebelumnya.

Presiden Joko Widodo (tengah) berjabat tangan dengan Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) disaksikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat 2018 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (10/3)./ Antarafoto

Munculnya poros ketiga, menurut hitungan di atas kertas memang dirasa memungkinkan. Namun yang jadi persoalan, menurut Kepala Departemen Ilmu Komunikasi (FISIP UGM), Kuskridho Ambardi, adalah hitungan kans kemenangan.

"Apakah mereka akan mengajukan poros ketiga, yang prospek elektoralnya rendah? Logika awal dari partai, mereka mestinya punya kans menang. Karena mereka mengharap ada political spoil," urainya.

Melihat hitungan itu, poros ketiga dibentuk bukan demi keinginan murni untuk mengajukan calon, akan tetapi untuk menaikkan posisi tawar terhadap poros yang lain. "Tetapi para kandidat sepertinya menginginkan hanya dua calon," katanya.

Seandainya poros ketiga terbentuk, lanjutnya, publik perlu membedakan jumlah suara ataupun jumlah dukungan yang dihimpun partai. Sebab perolehan suara itu tak bisa dijadikan landasan tunggal untuk mengusung capres atau cawapres sesuai instruksi partai.

Sebab faktanya, hanya beberapa partai saja yang bisa membawa mayoritas pemilihnya untuk memilih calon pemimpin. Ketiga partai tersebut yaitu PDI Perjuangan, PKS, dan Gerindra yang bisa membawa mayoritas pendukungnya, selebihnya tidak. "Di luar itu goyang semua," selorohnya kepada Alinea.