Pro kontra hak dipilih mantan narapidana

Berdalih memberi sanksi politis pada mantan narapidana korupsi, pencabutan hak dipilih mereka dikhawatirkan melanggar hak asasi manusia.

Ilustrasi pemilu di Indonesia./ Pixabay

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menambah daftar larangan mantan narapidana yang diperbolehkan menjadi kandidat kepala daerah dalam hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada). Jika sebelumnya larangan tersebut hanya berlaku bagi mantan narapidana kasus narkoba dan kejahatan seksual. Kali ini, mantan narapidana kasus korupsi juga digadang-gadang kehilangan hak dipilihnya oleh publik. Klausul baru itu sedianya akan ditambahkan sebagai pasal baru dalam PKPU tentang pencalonan anggota legislatif dalam pemilu 2019.

Merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016, setiap warga negara dapat mengajukan diri sebagai calon kepala daerah di pilkada, selama dia tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, mantan terpidana yang bersangkutan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik soal statusnya sebagai mantan terpidana.

Komisioner KPU Hasyim Ashari menyatakan, aturan mantan narapidana khususnya klausul keikutsertaan dalam pencalonan kepala daerah, sudah diatur dalam Undang-undang. Khususnya untuk kasus korupsi, lanjutnya, yang lekat dengan unsur penyalahgunaan wewenang.

Sementara mantan narapidana selain kategori tersebut, masih diperbolehkan untuk mengikuti pencalonan, dengan dua syarat dokumen yang harus diserahkan. Pertama, membuat pernyataan tertulis berisi, yang bersangkutan pernah dipidana. Kedua ia juga harus mengumumkan di media bahwa dirinya pernah dipidana.

Namun semuanya dikembalikan lagi pada khalayak untuk menilai. “Kalau ada orang pernah diberikan wewenang tapi menyalahgunakan wewenang tersebut, masih pantaskah diberi wewenang kembali,” ujarnya.