sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pro kontra hak dipilih mantan narapidana

Berdalih memberi sanksi politis pada mantan narapidana korupsi, pencabutan hak dipilih mereka dikhawatirkan melanggar hak asasi manusia.

Purnama Ayu Rizky Robi Ardianto
Purnama Ayu Rizky | Robi Ardianto Senin, 09 Apr 2018 09:18 WIB
Pro kontra hak dipilih mantan narapidana

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menambah daftar larangan mantan narapidana yang diperbolehkan menjadi kandidat kepala daerah dalam hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada). Jika sebelumnya larangan tersebut hanya berlaku bagi mantan narapidana kasus narkoba dan kejahatan seksual. Kali ini, mantan narapidana kasus korupsi juga digadang-gadang kehilangan hak dipilihnya oleh publik. Klausul baru itu sedianya akan ditambahkan sebagai pasal baru dalam PKPU tentang pencalonan anggota legislatif dalam pemilu 2019.

Merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016, setiap warga negara dapat mengajukan diri sebagai calon kepala daerah di pilkada, selama dia tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, mantan terpidana yang bersangkutan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik soal statusnya sebagai mantan terpidana.

Komisioner KPU Hasyim Ashari menyatakan, aturan mantan narapidana khususnya klausul keikutsertaan dalam pencalonan kepala daerah, sudah diatur dalam Undang-undang. Khususnya untuk kasus korupsi, lanjutnya, yang lekat dengan unsur penyalahgunaan wewenang.

Sementara mantan narapidana selain kategori tersebut, masih diperbolehkan untuk mengikuti pencalonan, dengan dua syarat dokumen yang harus diserahkan. Pertama, membuat pernyataan tertulis berisi, yang bersangkutan pernah dipidana. Kedua ia juga harus mengumumkan di media bahwa dirinya pernah dipidana.

Namun semuanya dikembalikan lagi pada khalayak untuk menilai. “Kalau ada orang pernah diberikan wewenang tapi menyalahgunakan wewenang tersebut, masih pantaskah diberi wewenang kembali,” ujarnya.

Terlebih lagi, KPU memiliki tugas untuk melayani dua pihak yaitu peserta pemilu dan pemilih. Oleh karena itu melalui pelarangan itu, bisa memberikan pelayanan paripurna khususnya pada para konstituen. Dalam hal ini KPU mendorong partai politik (parpol) untuk mengajukan kandidat terbaik, bersih, dan berintegritas sehingga pilihan publik kian berkualitas.

Ihwal larangan mantan narapidana korupsi berpartisipasi, Hasyim menjelaskan, pihaknya sudah membahas draf PKPU tersebut secara internal dan sudah dilakukan uji publik. Saat ini KPU masih menunggu jadwal konsultasi dengan pemerintah dan DPR.

Dukungan atas upaya KPU deras mengalir dari sejumlah kalangan. Ketua DPP Hanura Sutrisno Iwantono setuju dengan wacana KPU, sebab larangan itu secara tak langsung membantu kita agar pemerintah yang terpilih adalah sosok yang bersih.

Sponsored

“Kita sepakat dengan larangan mantan napi koruptor jadi caleg,” katanya pada Alinea.

Dukungan senada juga disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo. "Pada prinsipnya, kami mendukung peraturan yang melarang, misalnya caleg yang terkait tindak pidana korupsi itu. Bahkan dulu rasanya saya juga pernah menyampaikan itu sebelum ada ide dari KPU," katanya, dilansir Antara.

Lebih lanjut, Agus menyatakan lembaganya merencanakan berdiskusi dengan KPU soal peraturan tersebut.

"Nanti kami coba diskusi dengan KPU, dukungan apa yang dibutuhkan sehingga kami misalkan bisa menyuarakan bersama-sama mengenai pentingnya negara ini dikelola oleh baik eksekutif maupun legislatifnya orang-orang yang integritasnya baik," ucap Agus.
 

Pencopotan hak dipilih adalah pelanggaran HAM

Meski banyak dukungan mengalir pada terobosan KPU merevisi PKPU dan melarang mantan narapidana mengikuti pemilu, beberapa pihak justru menentangnya.

Pengamat hukum tata negara dari Unpar Asep Warlan Yusuf mencemaskan upaya itu adalah kemunduran dalam demokrasi. Menurutnya hak memilih dan dipilih berkelindan dengan persoalan hak asasi manusia. Oleh karena itu pengaturannya minimal harus bersumber dari hukum positif setingkat UU, bukan sekadar PKPU.

Ia menyoroti ihtiar KPU melarang mantan narapidana khususnya kasus korupsi dalam perhelatan pilkada. "Perlu ada argumentasi hukum mengapa hak dipilih itu dicabut, sebab mestinya putusan pencabutan pun diketok dalam pengadilan," ujarnya.

Lagipula, imbuhnya, isu korupsi ini masih sangat debatable, sebab itu adalah persoalan sistem yang lebih besar. Ia mencontohkan, perilaku korupsi kadang tak hadir karena niat pelaku, tapi karena terjebak dalam sistem, rekan sejawat, bahkan jadi tameng atasan.

Derajat kasus korupsi pun beragam. Andai pelaku pungutan liar (pungli) yang dibui beberapa bulan, lalu hak pilihnya dilarang, itu bisa fatal akibatnya. "bandingkan dengan kasus narkoba yang impilkasinya luas. Dalam UU, hukuman pidana kasus korupsi apabila berdampak pada bencana alam yang besar, hukumannya bisa seumur hidup. Kenapa kita tidak mencoba memisahkan dari derajat kasus, namun justru dari lama masa tahanan," urainya.

Pendapat Asep diperkuat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Harjono. Ia menuturkan, pada 2009 Mahkamah Konstitusi pernah memasukkan diskursus ini lalu menghapus pencabutan hak berpolitik bagi mantan narapidana.

"Soal (larangan KPU) itu biar diatur oleh ketentuan undang-undangnya saja (UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu). Mau kita katakan kalau itu aib sehingga tidak boleh lagi, ya silakan saja. Tapi ingat, pernah ada putusan MK tentang itu," kata Harjono di Gedung KPU RI Jakarta, Kamis lalu.

Putusan MK Nomor 4 Tahun 2009 menghapus pasal dalam UU Pilkada saat itu, yang memuat larangan bagi bekas narapidana untuk maju dalam gelaran pemilihan umum kepala daerah.

MK berpendapat mantan narapidana, yang telah menjalani hukuman dan mengakui kesalahannya kepada publik, berstatus sama seperti warga sipil lain, serta memiliki hak politik yang sama.

Sementara itu, KPU ingin membuat terobosan baru dengan mengatur larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD maupun DPD. KPU beranggapan bahwa caleg yang berpotensi terpilih sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi, seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999.

Terkait itu, Asep mendaskan, dirinya tidak mendukung praktik korupsi tumbuh subur di Indonesia, namun menyayangkan ada wacana pencopotan hak berdemokrasi. Baginya, penciptaan klausul baru soal itu masih sangat sumir dan justru bisa memicu kekacauan di masyarakat. "Jika diteruskan, ini bakal menyederhanakan hak berpolitik warga," tambahnya.

Padahal mereka yang sudah dibui selama sekian tahun karena kasus korupsi lalu keluar penjara memiliki hak sama sebagai warga negara. Jika hak mereka dicabut, imbuhnya, itu sama saja dengan memupus asa pertobatan dan menepis usaha pengabdian mereka pada negara. Semisal lewat jalan-jalan politik tertentu.

Berita Lainnya
×
tekid