sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

397 penyelenggara negara terindikasi rangkap jabatan di BUMN

Polemik rangkap jabatan meningkat karena regulasi membuka peluang lebih longgar terhadap pengabaian etika.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 29 Jun 2020 09:46 WIB
397 penyelenggara negara terindikasi rangkap jabatan di BUMN

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkapkan pada 2019 sebanyak 397 penyelenggara negara terindikasi rangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebanyak 167 di antaranya terindikasi rangkap jabatan di anak perusahaan BUMN.

Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih merinci komisaris terindikasi rangkap jabatan berasal dari kementerian mencapai 254 orang (64%), lembaga nonkementerian 112 orang (28%), dan perguruan tinggi 31 orang (8%).Terkait instansi asal kementerian tercatat yang paling dominan rangkap jabatan (58%). Yaitu, Kementerian BUMN sebanyak 55 orang, Kementerian Keuangan 42 orang, Kementerian Perhubungan 17 orang, Kementerian PUPR 17 orang, dan Kementerian Sekretaris Negara 16 orang. Sedangkan untuk instansi asal lembaga nonkementerian paling dominan (65%). Yakni, TNI sebanyak 27 orang, Polri 13 orang, Kejaksaan 12 orang, pemda 11 orang, BIN 10 orang, dan BPKP 10 orang.

Sementara itu, untuk instansi asal perguruan tinggi tercatat terbanyak berasal dari Universitas Indonesia. Lalu, disusul lima orang dari Universitas Gadjah Mada.

“Data-data tersebut masih terus  diverifikasi ulang berdasarkan status keaktifannya saat ini,” ujar anggota Alamsyah, dalam keterangan tertulis, Minggu (28/6).

Menurut Alamsyah, polemik rangkap jabatan meningkat karena regulasi membuka peluang lebih longgar terhadap pengabaian etika. Padahal, sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS melarang PNS rangkap jabatan menjadi direksi atau komisaris perusahaan swasta.

PP tersebut diubah menjadi PP No.53/2010 tentang Disiplin PNS dan tidak ada lagi larangan merangkap jabatan menjadi komisaris. Kecuali, menjadi anggota partai politik.

“Logika yang berkembang kemudian adalah, jika menjadi komisaris perusahaan swasta tak dilarang, apa lagi menjadi komisaris BUMN maupun anak perusahaan,” ucapnya.

Di sisi lain, terdapat regulasi larangan rangkap jabatan yang berlaku. Misalnya, dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi badan usaha. Sayangnya, pada kenyataannya perbedaan istilah jabatan yang melekat pada penyelenggara digunakan sebagai alasan rangkap jabatan, alih-alih memperhatikan etika atau kepatutan.

Sponsored

Imbasnya, pembiaran benturan regulasi itu menciptakan ketidakpastian dalam proses rekrutmen, buruknya akuntabilitas, diskriminasi, pengabaian etika, dan konflik kepentingan. Penghasilan ganda, konflik kepentingan, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparansi penilaian, dan akuntabilitas kinerja komisaris berpotensi maladministrasi dalam rekrutmen komisaris BUMN.

“Pada gilirannya hal ini jelas dapat memperburuk tata kelola, menurunkan kepercayaan publik, dan mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan BUMN,” tutur Alamsyah.

Ia menilai, proses rekrutmen komisaris BUMN bakal terus mengundang polemik jika pemerintah tidak melakukan perbaikan secara fundamental.

Di 2017, Ombudsman pernah mengungkap banyaknya jumlah komisaris rangkap jabatan pada 2017. Hingga saat ini, Kantor Staf Presiden yang menyampaikan opsi pengaturan kepada Presiden Joko Widodo belum diketahui perkembangannya. Nahas, persoalan malah tak kunjung tuntas dan semakin menuai polemik karena cakupan isu meluas.

Dari dominasi jajaran direksi dan komisaris yang berasal dari bank BUMN tertentu, kompetensi komisaris yang berasal dari relawan politik, penempatan anggota TNI/Polri aktif, penempatan ASN aktif sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN, hingga pengurus parpol diangkat menjadi komisaris BUMN.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid