sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bank digital ramai-ramai aksi korporasi demi penuhi modal inti

Aturan baru OJK soal modal inti bank minimal Rp10 triliun mengubah peta perbankan nasional, termasuk bank digital.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Rabu, 01 Sep 2021 08:37 WIB
Bank digital ramai-ramai aksi korporasi demi penuhi modal inti

Aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal modal minimum bank menjadi batu sandungan bagi bank digital. Bank yang didefinisikan mempunyai kegiatan usaha utama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik ini terimbas aturan soal modal minimum perbankan yang naik dari Rp3 triliun menjadi Rp10 triliun.

Sejauh ini, ketentuan modal minimal yang harus dipenuhi setiap bank ditetapkan paling lambat hingga Desember 2022. Bagi bank konvensional yang ingin menjadi bank digital baik berupa anak usaha atau bagian dari usaha bank, maka hanya memerlukan modal sebesar Rp1 triliun.

Namun, untuk mendirikan bank baru, OJK mewajibkan investor pengendali menyediakan modal inti minimum Rp10 triliun. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum juga menyebut bank digital dapat berupa bank digital yang baru didirikan atau bank digital yang berasal dari transformasi bank umum. Singkatnya, bank konvensional yang sudah ada saat ini dapat diubah menjadi bank digital dengan syarat tertentu.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menjelaskan, aturan baru soal modal bank baru ini ditetapkan untuk memastikan kemampuan bank dalam mengatasi masalah likuiditas dan lainnya. Termasuk juga dalam memperhitungkan kontribusi bank terhadap perekonomian Indonesia.

“Dengan penelitian yang sudah kita lakukan, bisa dilihat bahwa bank bisa menjaga buffer risiko, kemudian juga bisa sustainable profit-nya dan memberikan kontribusi ke perekonomian Indonesia itu (modal inti-red) ada di rentang Rp10 triliun,” ungkapnya, kepada Alinea.id, Jumat (27/8).

Dia menilai aturan sebelumnya, yakni modal Rp3 triliun untuk mendirikan bank baru sudah tidak lagi relevan untuk kondisi bisnis saat ini. Terlebih lagi, aturan tersebut sudah diterbitkan 20 tahun lalu. 

Tidak hanya itu, penetapan modal awal Rp10 triliun bagi bank baru menurut Kepala OJK Institute Agus Sugiarto, sudah merupakan best practices. Sebab, modal yang relatif besar itu memang sangat dibutuhkan bagi bank digital, mengingat investasi untuk infrastruktur teknologi digital tidak murah. Selain juga untuk memastikan bahwa bank digital yang baru berdiri tersebut memiliki likuiditas dan solvabilitas kuat.

“Bahkan seperti Singapura itu mensyaratkan modal sebesar SGD1,5 miliar atau sekitar Rp15 miliar. Lebih besar dari kita,” kata Agus kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu. 

Sponsored

Ilustrasi Pixabay.com.

Dengan terbitnya beleid tersebut, dia yakin nantinya akan semakin banyak aksi akuisisi bank-bank kecil, demi memenuhi ketentuan modal Rp10 triliun. Dus, akan semakin banyak pula investor yang siap meminang bank mini yang sudah memiliki ekosistem baik. 

“Konsolidasi ini adalah agar masyarakat bisa dilayani dengan baik. Apalagi sekarang masyarakat membutuhkan layanan perbankan yang bisa mengikuti perubahan perilaku digital mereka,” imbuhnya.

Bank mini tergerus

Hal ini pun diamini oleh Direktur Avrist Asset Management Tubagus Faras Akbar Farich. Dia bilang, dengan aturan yang baru diterbitkan Kamis (19/8) lalu itu memang akan efektif untuk mendorong konsolidasi perbankan. 

Ini sejalan pula dengan keputusan OJK untuk mengubah aturan pengelompokan bank berdasarkan modal inti, dari yang semula dikategorikan berdasarkan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I, II, III, dan IV menjadi Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) 1, 2, 3 dan 4. 

Sebagai informasi, dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2021, bank kategori BUKU I dengan modal kurang dari Rp1 triliun diubah menjadi KBMI 1 dengan modal inti kurang dari Rp6 triliun, kategori bank BUKU II dengan modal minimal Rp1 triliun akan diubah menjadi KBMI 2 dengan modal inti minimal Rp6 triliun. 

Sedangkan bank BUKU III dengan modal minimal Rp5 triliun diubah menjadi KBMI 3 bermodal inti minimal Rp14 triliun dan bank BUKU IV bermodal minimal Rp30 triliun diubah menjadi KBMI 4 dengan modal inti minimal Rp70 triliun.

“Artinya, kalau sekarang bank BUKU IV modal dasarnya harus Rp70 triliun dari Rp30 triliun, berarti bank-bank yang ingin menuju ke KBMI 4, dia harus melakukan corporate action, ada penyuntikan modal, dengan merger atau mengakuisisi bank-bank lain untuk bisa mencapai ke arah sana,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/8).

Namun, di luar itu semua, baik perubahan kategori bank berdasarkan modal inti maupun aturan baru untuk mendirikan bank baru, menurutnya akan sangat berdampak pada bank-bank kecil dengan modal mini. “Misal bank BUKU I atau II,” imbuhnya.

Mengutip Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis OJK Mei lalu, sampai saat ini memang sudah tidak ada bank yang masuk dalam kategori BUKU I, namun jumlah bank kategori BUKU II dengan modal Rp1 triliun hingga Rp10 triliun sebanyak 21 bank. 

Sedangkan bank BUKU II dengan modal Rp10 triliun hingga Rp50 triliun ada sebanyak 40 bank. Adapun untuk bank kategori BUKU III dengan modal Rp10 triliun hingga Rp50 triliun ada sebanyak 7 bank dan bank dengan modal lebih dari Rp50 triliun ada 19 bank.

Sementara itu, pada periode yang sama masih ada bank syariah BUKU II dengan modal Rp1 triliun sampai Rp10 triliun sebanyak 5 bank, bank dengan modal Rp10 triliun sampai Rp50 triliun sebanyak 4 bank dan bank dengan modal lebih dari Rp50 triliun ada sebanyak 1 bank. Sedangkan untuk bank syariah BUKU III dengan modal Rp10 triliun hingga Rp50 triliun ada 1 bank dan bank dengan modal lebih dari Rp50 triliun 1 bank.

Bukan saat yang tepat

Perubahan pengelompokan perbankan ini jelas akan menyebabkan beberapa emiten perbankan di Indonesia terpaksa turun kelas, lantaran tak bisa lagi bertahan di kategori kelompok bank yang baru. Mayoritas perbankan yang akan turun kelas pun berasal dari bank BUKU II yang kemudian menjadi KBMI 1. Tercatat akan ada 23 perbankan BUKU II yang nantinya terpaksa pindah menjadi KBMI 1, dengan modal inti di bawah Rp6 triliun. 

Nah, perbankan yang tercatat sebagai kategori ini termasuk juga bank-bank yang saat ini tengah berproses menjadi bank digital. Sebut saja PT Allo Bank Indonesia Tbk atau sebelumnya lebih dikenal sebagai Bank Harda Indonesia, PT Bank Bumi Artha Tbk, PT Bank Capital Tbk, PT Bank Ina Perdana Tbk, PT bank Ganesha Tbk, PT Bank MNC Internasional Tbk, dan PT BRI Agroniaga Tbk.

“Ini berlaku juga untuk bank digital baru. Makanya, untuk naik kelas atau bertahan di kategori KBMI yang lebih tinggi bank harus melakukan aksi korporasi dan ini berat untuk bank bermodal kecil,” ujar Faras.  

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

Dihubungi terpisah, Pengamat Perbankan Binus University Doddy Ariefianto menjelaskan, perubahan aturan pengelompokan bank serta ketentuan modal baru ini nantinya akan membuat bank-bank kecil dan menengah pontang-panting. Pasalnya, pemilik harus berusaha keras mencari tambahan modal baru. Dengan kondisi sebaran virus Covid-19 di Tanah Air yang masih belum reda, langkah ini tentunya akan semakin sulit untuk dilaksanakan. 

“Dengan kondisi perekonomian seperti ini, siapa yang akan membeli bank? Apakah kalau terjual juga mereka bisa mendapat harga wajar?,” tuturnya, kepada Alinea.id, belum  lama ini.

Meski begitu, Doddy tak menampik jika bank-bank mini dan menengah memang harus melakukan konsolidasi. Dia bilang, langkah ini diperlukan agar bank bisa meningkatkan daya saingnya.

“Untuk bersaing, memang butuh modal besar. Tapi tetap saja ini bukan timing yang tepat,” tegas dia.

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda bahkan menilai beleid baru OJK yang mensyaratkan modal minimal Rp10 triliun untuk mendirikan bank digital baru akan sulit untuk direalisasikan. Alih-alih mendirikan bank baru, perusahaan teknologi yang ingin mendirikan bank digital akan lebih memilih untuk bekerjasama atau mengakuisisi bank kecil.

“Karena kalau mau buat bank baru, mereka membutuhkan modal inti Rp10 triliun. Kalau kerjasama dengan bank kecil hanya butuh modal Rp3 triliun,” jelasnya, kepada Alinea.id, Rabu (25/8).

Tak heran, jika akhir-akhir ini makin banyak bank mini yang bertekad mempertebal modal mereka, dengan melakukan aksi korporasi berupa rights issue hingga merger. Belum lagi, sejak pagebluk Covid-19, semakin banyak perusahaan teknologi yang mencaplok bank-bank mini, seperti yang dilakukan oleh Gojek dan Tokopedia (GoTo) terhadap Bank Jago Desember 2020 lalu.

Terbaru, induk perusahaan e-commerce Shopee, yakni Sea Group dikabarkan bakal mengakuisisi salah satu bank kecil nasional. Melansir Straits Times, perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut akan mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi dan satu bank lain yang akan dimerger dan menjadi bank digital untuk melayani konsumen Shopee.

Modal inti bank yang akan bertransformasi menjadi bank digital. (Diolah dari berbagai sumber).
Bank Modal inti semester-I 2020 Modal inti semester-I 2021
BRI Agro (AGRO) Rp4,13 triliun Rp4,21 triliun
Bank Capital (BACA) Rp1,39 triliun Rp1,51 triliun
Bank Blu BCA Digital Rp1,34 triliun Rp1,35 triliun
Bank Jago (ARTO) Rp1,76 triliun Rp7,88 triliun
Bank Neo Commerce (BNC) Rp921,4 miliar Rp1,02 triliun
Bank Harda Internasional Rp347,06 miliar Rp12,09 triliun
Bank QNB Indonesia Rp3,2 triliun -
Bank KEB Hana Indonesia Rp9,45 triliun Rp9,56 triliun

Selain itu, santer pula kabar Bank Banten yang segera menjalin kerja sama dengan Amazon, e-commerce raksasa asal Amerika Serikat untuk bertransformasi menjadi bank digital. Direktur Utama Bank Banten Agus Syabarrudin mengungkapkan, saat ini perseroan tengah menyempurnakan kajian perihal kerja sama tersebut. 

"Mudah-mudahan dalam waktu dekat kami bisa segera merumuskan lebih jauh lagi langkah-langkah sesuai dengan kondisi Bank Banten," ujarnya, Senin (23/8) lalu.

Selain itu, saat ini perseroan juga sudah memasuki proses penetapan pemenang lelang untuk membantu transformasi bank. Dia bilang, saat ini pihaknya telah mengantongi salah satu vendor yang memiliki ekosistem digital sesuai dan berhubungan baik dengan Amazon.

Pilih right issue

Di sisi lain, demi memenuhi ketentuan OJK terbaru yang mengharuskan perbankan memiliki modal inti minimum Rp2 miliar, tak sedikit bank dari kategori BUKU II yang lantas melakukan aksi korporasi rights issue

Sebagai informasi, rights issue sendiri merupakan penerbitan saham baru, di mana saham tersebut diprioritaskan untuk pemegang saham atau investor lama. Sederhananya, arti right issue adalah hak yang diberikan kepada investor lama untuk membeli saham baru yang diterbitkan sebelum saham baru tersebut ditawarkan ke investor lain. 

Ilustrasi Pixabay.com.

PT Bank Neo Commerce Tbk menjadi salah satu bank paling rajin melakukan aksi korporasi. Terakhir, perusahaan dengan kode emiten BBYB itu tercatat menggelar rights issue pada Penawaran Umum Terbatas (PUT) V untuk melepas 5 miliar saham baru atau 40,02% dari modal ditempatkan dan disetor setelah hajatan tersebut.

Corporate Secretary Bank Neo Commerce Agnes F Triliana mengungkapkan upaya tersebut ditempuh demi menggenjot modal inti perseroan. Dimotori PT Akulaku Silvrr (Akulaku), BBYB juga melakukan manuver ekspansi kredit melalui kerja sama strategis dengan financial technology (fintech). Akulaku tercatat bakal menjadi pemegang saham pengendali BBYB pada Oktober 2021. 

“Target Bank Neo memperbesar penyaluran kredit antara lain melalui skema channeling dan bekerjasama dengan beberapa fintech untuk menjaring lebih banyak pendapatan,” ujar Agnes saat dihubungi Alinea.id, Kamis (29/8).

Dengan aksi korporasi yang fokus di lini bisnis digital, Agnes optimistis BBYB bisa mengejar modal minimum OJK sebesar Rp2 triliun pada tahun ini. Sementara itu, BBYB membukukan laba bersih Rp15,87 miliar pada tahun lalu. Realisasi itu terkontraksi 0,82% (year on year) dari capaian 2019 yang sebesar Rp16 miliar.

Sama halnya dengan BBYB, PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA) juga tengah getol melakukan rights issue. BACA harus menambah minimal Rp500 miliar modal inti untuk lolos dari aturan baru OJK. Dengan posisi modal inti Rp1,5 triliun, BACA diketahui melepas paling banyak 20 miliar lembar saham baru dengan nominal Rp100.

Direktur Utama (Dirut) Bank Capital Wahyu Aji mengatakan pihaknya optimistis bisa membidik dana minimal Rp500 miliar pada tahun ini dari gelaran rights issue.

“Kami optimistis bisa memenuhi minimal modal inti dari OJK. Saat ini pelaksanaan right issue masih ditinjau di KAP (kantor akuntan publik) dan bakal dibahas di RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham),” ujarnya belum lama ini.

Wahyu juga menyebut ketentuan baru OJK ini berimplikasi pada penguatan modal di industri perbankan. “Di tahun depan pun kami optimis bisa memenuhi ketentuan baru tersebut,” tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid