sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Analog switch off dan emiten TV yang moncer dan boncos

Prospek industri pertelevisian masih cerah, saham TV layak dibeli.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Sabtu, 07 Jan 2023 16:28 WIB
Analog switch off dan emiten TV yang moncer dan boncos

Beberapa induk emiten televisi kompak menunjukkan pertumbuhan pendapatan pada kuartal-III 2022. PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. misalnya, yang pada sembilan bulan pertama tahun kemarin membukukan pendapatan bersih senilai Rp11,04 triliun, naik dari September 2021 yang hanya sebesar Rp9,60 triliun. Lonjakan pendapatan ini lantas membuat laba bersih perseroan ikut terkerek menjadi Rp5,55 triliun, atau meroket hingga 2.454,01% secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp217,12 miliar.

Kemudian, ada pula pendapatan PT Media Nusantara Citra Tbk. yang tumbuh sebesar 3,71% sepanjang kuartal-III 2022 menjadi Rp7,34 triliun, dibandingkan periode yang sama di tahun lalu Rp7,07 triliun. Menjadikan pendapatan pada sembilan bulan pertama tahun 2022 yang tertinggi sejak lima tahun terakhir. Namun, tidak seperti pendapatan yang tumbuh impresif, laba bersih emiten dengan kode saham MNCN ini susut 1,56% dari Rp1,68 triliun hingga 30 September 2021, menjadi hanya Rp1,66 triliun.

Sementara itu, berdasarkan laporan keuangan perusahaan kuartal-III 2022 yang tidak diaudit, PT Visi Media Asia Tbk alias Grup VIVA nampak mengalami kenaikan pendapatan dari Rp1,323 triliun per 30 September 2021 menjadi Rp1,328 triliun hingga akhir September kemarin. Dalam Public Expose VIVA dan anak usahanya PT Intermedia Capital Tbk (MDIA), Managing Director VIVA Arief Yahya mengungkapkan, pendapatan tersebut merupakan hasil dari peningkatan EBITDA perusahaan yang sebesar 46,4% pada kuartal-III 2022 menjadi Rp149,6 miliar, dari yang sebelumnya hanya Rp102,2 miliar.

“Selain itu, distribusi konten TV FTA (Free-to-Air) ANTV dan TvOne melalui berbagai platform digital termasuk media online, mobile dan media sosial berhasil meningkatkan engagement penonton,” jelasnya, Rabu (14/12/22) lalu.

Di saat yang sama, pendapatan perseroan juga disumbang oleh pendapatan anak usaha VIVA, MDIA yang pada sembilan awal 2022 mencapai Rp992,5 miliar. Naik dari posisi 30 September 2021 yang senilai Rp986,4 miliar. Seiring dengan itu, laba pemegang saham mayoritas ANTV ini tercatat mengalami lonjakan 122,8% yoy, dari Rp40,3 miliar pada kuartal-III 2021 menjadi Rp89,7 miliar di September 2022.

Namun, di balik pertumbuhan pendapatan tersebut, perusahaan media yang menaungi ANTV dan TvOne ini justru membukukan kerugian hampir dua kali lipat lebih banyak, dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Di mana pada kuartal-III 2021, VIVA tercatat mengalami kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas senilai Rp655,4 miliar yang melonjak jadi Rp1,09 triliun pada September kemarin.

“Kami mencatat peningkatan beban program dan penyiaran sebesar Rp515,8 miliar, kemudian beban umum dan administrasi Rp663,1 miliar. Selanjutnya, beban penyusutan sebesar Rp72,2 miliar atau naik 2,9% dari periode di tahun sebelumnya yang senilai Rp70,1 miliar,” rinci Arief.

Dampak analog switch off

Sponsored

Selain lonjakan kerugian, VIVA juga harus terdampak regulasi suntik mati TV analog alias Analog Switch Off (ASO). Bagaimana tidak, kebijakan yang diterapkan bertahap sejak April tahun lalu ini membuat TvOne dan ANTV sempat mengalami penurunan penonton, meski tidak disebutkan berapa banyak penurunan yang terjadi.

Foto Pixabay.com.

Namun, dari data Nielsen share penonton ANTV sejak awal tahun hingga periode 30 November 2022 tercatat turun dari sebelumnya pada 2021 di level 8,4 untuk seluruh pasar, menjadi di level 8,1. Padahal, di tahun 2020, share penonton stasiun TV dengan tagline ‘ANTV Rame’ masih berada di level 9,1. Sedangkan share penonton untuk TvOne tercatat naik tipis dari 2,4 menjadi 2,6 di 30 November 2022. Namun, dibanding dua tahun lalu, share penonton induk ANTV ini masih sebesar 2,9.

“Kita sudah melihat grafiknya. Sudah recovery dan sejauh ini masih sesuai dengan ekspektasi kita,” jelasnya, saat dikonfirmasi Alinea.id, Kamis (5/1).

Pada kesempatan lain, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi bilang, kebijakan migrasi dari TV analog ke TV digital ini memang sangat memungkinkan berdampak pada pengurangan jumlah penonton. Namun kondisi ini hanya akan berlangsung sebentar. 

Sebaliknya, setelah migrasi selesai dan mayoritas masyarakat Indonesia beralih menggunakan TV digital, industri televisi akan tertata kembali. Dus, pertumbuhan pun akan didapatkan kembali oleh industri penyiaran itu.
Namun di sisi lain, persaingan di industri ini jelas akan semakin ketat. Tidak hanya antara penyedia layanan televisi saja namun juga dengan layanan berbayar digital seperti video on demand, video streaming, hingga platform penayangan video lainnya seperti YouTube.

“Bagaimanapun TV memiliki keunggulan dibanding streaming atau VOD. Karena TV bebas pulsa, kuota. Apalagi kalau dimanfaatkan dengan konten yang tidak kalah menarik,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini.

Dengan efisiensi ini diharapkan akan lebih banyak lembaga penyiaran yang bisa menggunakan TV digital. Artinya, akan muncul lebih banyak keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran. Sejalan dengan itu, diharapkan pula dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G plate (kanan) didampingi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Mahfud MD (kedua dari kanan) menyaksikan seremoni penghentian siaran TV Analog di Indonesia di acara Prosesi Hitung Mundur Penghentian Siaran Televisi Analog Jabodetabek, di halaman Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Kamis (03/11/2022) dini hari. Dokumentasi Kemenkominfo.

“Kekurangannya, proses implementasi TV digital memerlukan keterlibatan banyak pihak. Mulai masyarakat hingga pemerintah. Nah, dari segi teknologi baru, tentu diperlukan multiplexer. Beberapa kendala juga masih ada seperti kebutuhan set top box (STB),” imbuhnya.

Bagi sektor penyiaran, peralihan ini biasanya akan diiringi dengan pertumbuhan industri televisi yang disebabkan oleh jumlah pengguna yang terus merangkak naik. Namun, kata Heru, untuk mencapai titik ini butuh proses panjang dan tidak mudah.

“Tapi saya rasa ini memang harus dilakukan agar lembaga penyiaran kita bisa memiliki daya saing yang berkualitas,” jelasnya.

Harga saham anjlok

Gonjang-ganjing pada industri pertelevisian sepanjang tahun lalu, dapat terlihat dari pelemahan harga-harga saham emiten televisi. Perusahaan media dengan salah satu kapitalisasi pasar (market cap) tertinggi PT Media Nusantara Citra Tbk. misalnya, yang pada sepanjang tahun 2022 mengalami pelemahan harga saham hingga 17,71%.

Dengan harga jual saham pada penutupan perdagangan terakhir tahun lalu, yakni Jumat (30/12/2022) di level Rp740 per lembar saham, naik dari penutupan perdagangan hari sebelumnya yang sebesar Rp730 per lembar saham. Lalu pada Jumat (6/1), saham perusahaan dengan kode MNCN ini ditutup pada harga Rp725 per lembar saham. Naik tipis dari perdagangan Kamis (5/1) kemarin yang hanya di level Rp720 per lembar saham.

Dokumentasi MNC Media.

Sementara itu, induk PT Surya Citra Televisi Tbk (SCTV) EMTEK alias PT Elang Mahkota Teknologi Tbk., tercatat mengalami penurunan yang sangat dalam, hingga 60,16% di tahun 2022. Di mana harga saham pada penutupan perdagangan 30 Desember kemarin ada di level Rp1.030 per lembar saham, naik dari Rp1.025 dari perdagangan sehari sebelumnya. Meski begitu, pada perdagangan Jumat (6/1), saham EMTK ditutup di harga Rp985 per lembar saham.

“Berbeda dengan dua emiten lainnya tadi, VIVA atau TvOne yang merupakan induk MDIA (PT intermedia Capital Tbk) masih tetap bertahan di harga Rp50, tidak berubah sepanjang tahun (2020),” kata Pengamat Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo, kepada Alinea.id, Jumat (6/1).

Babak baru

Tahun lalu, kinerja saham emiten-emiten sektor media memang tidak begitu menggembirakan. Namun, kondisi ini masih sejalan dengan pasar saham yang secara keseluruhan juga tidak begitu bergairah. Hal ini terlihat dari indeks harga saham gabungan (IHSG) yang pada akhir tahun ditutup turun 0,14% di level 6.850. Sepanjang Desember 2022, indeks saham ini turun 2,41 poin sehingga mematahkan sejarah positif dalam 20 tahun.

“Ini juga menjadi bukti kalau yang salah bukan dari industrinya, tapi memang karena pasar saham yang sedang tidak dalam kondisi baik. Sebaliknya, kalau IHSG lemah, tapi kinerja saham emiten media penyiaran ini bagus, justru patut dipertanyakan,” jelasnya.

Pada tahun ini, Lucky menilai industri media penyiaran akan memasuki babak baru, digantikan dengan episode yang lebih baik. Apalagi, pada tahun ini belanja barang konsumsi atau FMCG (Fast Moving Consumer Goods) diperkirakan akan mulai tumbuh, seiring dengan perbaikan mobilitas masyarakat. Di saat yang sama, migrasi ke TV digital pun juga diperkirakan akan mulai menunjukkan tajinya.

“Dengan melihat fundamental perusahaan-perusahaan media penyiaran yang semakin baik, ditambah belanja FMCG yang mulai meningkat didorong juga dari belanja iklan perusahaan, serta dampak positif dari migrasi TV digital, saya kira tahun ini saham-saham emiten ini akan tumbuh lebih baik,” nilainya.

Hal ini pun diamini pula oleh Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya. Dia bilang, ada beberapa faktor yang membuat pertumbuhan industri televisi patut dinantikan. Diantaranya karena 2023 merupakan awal dari tahun politik.

Seperti yang telah diketahui, pada 2024 Indonesia akan melangsungkan agenda lima tahunan berupa pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk mendukung kesuksesan agenda tersebut, maupun mendukung calon presiden dan wakilnya, partai politik biasa melakukan kampanye di televisi-televisi.

“Bagi industri televisi dan penyiaran, hal ini berarti menambah keberagaman pendapatan iklan mereka. Dari yang sebelumnya kebanyakan hanya dari perusahaan FMCG,” kata dia, kepada Alinea.id, Rabu (4/1).

Apalagi, permintaan iklan akan muncul baik di TV digital maupun TV FTA. Selain itu, permintaan iklan diperkirakan juga bakal datang dari perusahaan sektor teknologi, yang saat ini sedang membenahi kinerjanya.

“Dari faktor-faktor itu lah saya kira pendapatan emiten media televisi akan naik pada tahun ini,” imbuhnya.

Gedung SCTV. Dokumentasi.

Karena itu, Christine meng-upgrade rekomendasi sektor media menjadi overweight, dari yang sebelumnya netral, untuk sepanjang tahun 2023. Tidak hanya itu, analis saham ini juga menyematkan rekomendasi trading buy saham SCMA dan MNCN dengan target harga Rp300 per saham dan Rp1.100 per saham.

Dua saham emiten itu pun direkomendasikan pula oleh CEO Sucor Sekuritas Bernadus Wijaya. Apalagi dua emiten itu diperkirakan bakal mengalami peningkatan pendapatan, terutama dari bisnis iklan digital. 

“Kita rekomendasi BUY untuk SCMA dengan target price Rp270 dan rekomendasi BUY dengan TP (target price) di Rp1.450,” ujar dia, dalam pesan singkatnya kepada Alinea.id, Jumat (6/1).

Sementara itu, Pengamat Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo merekomendasikan beli saham MNCN pada target harga Rp760 hingga Rp800 per lembar saham. Kata dia, selain karena kinerja yang masih moncer, emiten milik Hary Tanoesoedibjo ini juga lebih agresif dan cepat untuk bermigrasi sebagai TV digital.

“Mereka juga punya ekosistem banyak dan lengkap. Selain stasiun TV, mereka juga punya radio, media online, dan sebagainya. Kalau semua mencatatkan revenue bagus, maka pendapatan induknya juga akan bagus,” katanya.

Berbeda dengan MNCN, Lucky lebih memilih merekomendasikan anak usaha dari EMTEK, yakni SCMA serta anak usaha VIVA, yakni MDIA. Pasalnya, ketimbang sang induk, anak-anak usaha mereka lah yang justru membukukan kinerja apik.

SCMA misalnya, yang pada kuartal-III tahun kemarin mencatatkan pendapatan bersih sebesar Rp4,95 triliun atau meningkat 12,77% yoy, dari pada periode 2021 hanya sebesar Rp4,39 triliun. Dengan pendapatan itu, laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp830,77 miliar, menurun 28,06% dari Rp1,06 triliun di tahun sebelumnya.

Sedangkan MDIA yang merupakan rumah bagi ANTV berhasil menjadi penopang pendapatan Grup VIVA. Dengan pendapatan di sembilan bulan pertama 2022 sebesar Rp992,5 miliar dan laba bersih mencapai Rp89,7 miliar.

“Postur MDIA sama dengan SCTV, mereka sama-sama menjadi anak usaha. Yang menjadi tujuan transaksi emiten ini adalah karena sedang dalam kondisi rendah dan murah, dengan postur fundamental tidak begitu gemuk, sehingga dia bisa lincah kalau mau berekspansi bisnis,” jelasnya.

Dengan pertimbangan itu, Lucky lantas menyematkan rekomendasi buy pada saham emiten SCMA, dengan target harga Rp210 hingga Rp230 per lembar saham. Sedangkan MDIA, ia merekomendasikan beli pada harga di level Rp55 sampai Rp60 per lembar. 

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Berita Lainnya
×
tekid