sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Anomali inflasi di kala pandemi

Harga komoditas pangan seperti cabai rawit dan ayam ras mengalami kenaikan, namun inflasi tercatat masih rendah.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 22 Mar 2021 15:46 WIB
Anomali inflasi di kala pandemi

Sebuah video cabai rawit merah yang diwarnai dengan cat viral di jagat media sosial. Praktik pewarnaan cabai rawit di Banyuwangi, Jawa Timur itu dipicu oleh tingginya harga komoditas cabai 'galak' ini.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PHIPS) Nasional per 19 Maret 2021 mencatat harga rata-rata cabai rawit merah secara nasional Rp100.400 tiap kilogramnya. Namun demikian, harga cabai rawit merah di sejumlah daerah terpantau berada di atas rata-rata. 

Pada Minggu (21/3) kemarin, cabai rawit dengan kualitas campuran dipatok dengan harga Rp140.000 per kilogram di Pasar Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Sedangkan harga cabai rawit merah kualitas super mencapai Rp150.000 per kilogram. 

Sementara itu, di daerah-daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, harga cabai rawit merah rata-rata berada di kisaran Rp120.000 per kilogram. Begitu juga di Jawa Timur, Kalimantan dan Banten.

Harga cabai rawit merah memang telah melambung sejak sebulan terakhir. Masyarakat pun terpaksa mengurangi konsumsi cabai ‘setan’. Ada pula yang menyiasati keinginan makan pedas mereka dengan cara lain.

Harga cabai rawit merah menembus Rp100.000 lebih sejak sebulan terakhir. Foto Alinea.id/Kartika Runiasari.Misalnya dengan menggunakan cabai merah keriting atau bahkan cabai kering yang memiliki harga relatif lebih terjangkau. Seorang ibu rumah tangga, Ana (47) misalnya. Ia memilih untuk mengurangi konsumsi makanan pedas untuk keluarganya.

“Yang biasanya pakai cabai rawit, ya ini karena mahal banget, terpaksanya cuma pakai cabai keriting. Atau paling kalau pakai cabai rawit ya dua, tiga biji sekali masak. Biar irit,” keluhnya, kepada Alinea.id, Jumat (19/3).

Tak hanya cabai rawit merah, harga daging ayam kampung dan broiler juga mulai merangkak naik bulan ini. Bahkan, saat ini harga daging ayam kampung di Pasar Modern Pondok Cabe telah mencapai Rp65.000 per ekor. Sementara harga daging ayam broiler per ekor dipatok dengan harga Rp45.000.

Sponsored

Kenaikan mencolok juga terjadi pada harga ikan mas, dari yang semula Rp40.000, menjadi Rp48.000 per kilogram. “Ini malah lebih mahal harga ikan mas, daripada harga ayam. Bisa jadi masih bakal naik lagi,” kata Didin (34), pedagang ikan di Pasar Pondok Cabe, kepada Alinea.id, Kamis (18/3).

Seorang wanita mengenakan masker saat berbelanja di sebuah pasar tradisional di Jakarta. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Tren inflasi rendah

Meski sejumlah komoditas pangan mengalami kenaikan harga, namun laju inflasi pada bulan Februari misalnya, sangat rendah. Direktur Statistik Harga Badan Pusat Statistik (BPS) Nurul Hasanudin menjelaskan, naiknya beberapa komoditas pangan itu memang sangat berpengaruh pada inflasi Februari 2021, yang sebesar 0,10%. 

Namun, angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi Januari yang hanya sebesar 0,26%. Artinya, inflasi masih konstan rendah, terutama sejak pagebluk Covid-19 menyerang Indonesia. Nurul menilai rendahnya inflasi nasional ini disebabkan oleh harga beberapa komoditas yang memiliki andil besar terhadap inflasi. Diantaranya beras dan energi (BBM, listrik dan Elpiji) yang harganya cenderung stabil. 

“Mereka memiliki andil besar, karena setiap hari dikonsumsi masyarakat. Setiap hari orang makan beras, pergi kendaraan harus ada BBM, pakai listrik dan masak,” kata dia, Jumat (19/3).

Seperti diketahui, dalam kurun waktu satu tahun terakhir, memang terjadi perubahan harga beras karena pengaruh produksi padi. Namun, sejak tahun lalu rata-rata harga beras kualitas premium berada di kisaran Rp9.715 hingga Rp10.082 per kilogram. Sedangkan rata-rata harga beras kualitas medium berada di kisaran Rp9.316 hingga Rp9.844 per kilogram. 

“Ini kan kita sedang banyak panen, jadi bisa jadi lebih murah harga beras di berbagai daerah. Nah, BBM, listrik dan gas juga sama. Harganya relatif stabil, bahkan untuk BBM dan listrik turun karena ada subsidi,” kata dia.

Dia menambahkan, naiknya uang kuliah di beberapa daerah di Indonesia bahkan juga belum bisa mengerek inflasi naik. Sebab, masih lebih banyak anak-anak yang belum bisa mengenyam bangku kuliah dibandingkan dengan yang bersekolah hingga jenjang diploma maupun sarjana.

“Dan masih banyak lagi faktor yang membuat inflasi kita relatif rendah. Karena kita mengukur inflasi itu berdasarkan fluktuasi harga 185 komoditas,” jelas Nurul.

Inflasi menurut komponen pada Februari 2021 sebesar 0,10%. Sumber: BPS.
Komponen Inflasi Februari 2021 sebesar 0,10% Andil inflasi
Inflasi inti 0,11% 0,07%
Harga diatur pemerintah 0,21% 0,03%
Bergejolak -0,01% 0
Energi 0,01 0
Bahan makanan 0,03 0

Rendahnya inflasi nasional, menurut dia, juga disebabkan oleh wabah Covid-19 yang tak kunjung usai. Akibatnya, sektor industri pun terpuruk. Hal itu terlihat dari Promt Manufacture Index (PMI) Indonesia yang turun hingga di bawah 50 poin pada tahun 2020. Bahkan, PMI pada Kuartal-II 2020 menjadi yang terendah dalam beberapa tahun terakhir, yakni hanya sebesar 28,55 poin.

Nurul bilang, sektor industri yang porak poranda membuat pengangguran di Tanah Air semakin banyak. Selain itu, untuk para pekerja yang masih bertahan pun tak sedikit yang mengalami pengurangan upah. 

Hal inilah yang membuat masyarakat mengetatkan ikat pinggang dan menahan konsumsi rumah tangga mereka. Dengan kata lain, daya beli masyarakat melemah sejak wabah menyerang.

“Masyarakat itu tidak beli barang atau komoditas-komoditas lain bukan karena mahal. Tapi karena mereka menahan. Kan banyak yang kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sama dipotong gajinya,” urai dia. 

Selain itu, perubahan pola kerja menjadi bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) menjadi faktor lain yang turut menekan laju inflasi. Akibatnya, daya beli masyarakat ini secara akumulatif tahun 2020 terkontraksi 2,63%. 

Dihubungi terpisah, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menuturkan, kasus positif Covid-19 dan lemahnya daya beli masyarakat menjadi tanda inflasi belum akan membaik. Bahkan, menurutnya tren serupa masih akan terjadi hingga akhir tahun nanti. 

Meski begitu, pihaknya yakin, secara perlahan-lahan inflasi akan mengalami kenaikan. Terutama pada saat Ramadan dan Lebaran. Sebaliknya, meski daya beli masyarakat masih rendah, namun sinyal penguatan ekonomi tidak akan membuat Indonesia kembali mengalami deflasi, seperti yang sempat terjadi pada 2020 lalu.

“Ekonomi sudah menunjukkan tanda-tanda pemulihan, karena didorong adanya vaksin, mungkin di tahun ini bisa mencapai 2%,” katanya kepada Alinea.id, melalui sambungan telepon, Sabtu (20/3). 

Sebaliknya, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati memperkirakan, Indonesia masih akan mengalami deflasi setidaknya sekali, yang akan terjadi setelah Lebaran nanti. 

“Ini karena daya belinya sudah habis,” ujarnya, saat dihubungi Sabtu (20/3).

Sama halnya dengan Nurul, Enny juga memprediksikan, inflasi akan mengalami kenaikan pada Ramadan dan Lebaran. Pada momen ini, masyarakat mulai memasok bahan makanan, sebelum harganya semakin merangkak naik.

Karenanya, untuk menjaga risiko deflasi, Enny menyarankan agar pemerintah dapat secepatnya mengendalikan wabah. Dengan begitu, daya beli masyarakat tidak makin melemah. Di sisi lain, pemerintah juga harus dapat mengendalikan harga berbagai komoditas, agar tidak semakin melonjak.

“Untuk masyarakat kelas menengah atas juga harus diperhatikan. Tapi sebelum itu, kendalikan dulu Covid-nya, biar mereka-mereka di kategori ini bisa punya confident,” jelas Enny.

Sementara itu, dengan adanya wabah virus SARS-CoV-2, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kompak memperkirakan inflasi 2021 ada di kisaran 2-4%. Artinya, inflasi masih akan terjaga pada range yang telah ditetapkan dalam APBN 2021, yakni 3 ± 1%. Sedangkan untuk Maret 2021, BI memperkirakan, inflasi akan berada pada kisaran 0,09% secara bulanan (month on month/mtm) atau 1,37% secara tahunan (year on year/yoy).

Ilustrasi. Pixabay.com.

Stabilisasi harga jelang bulan puasa

Sementara itu, pada kesempatan lain, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan, pemerintah telah mempersiapkan langkah antisipatif agar lonjakan harga tidak berlanjut saat bulan puasa dan Lebaran. 

Langkah yang dapat ditempuh secara umum yaitu dengan stabilisasi harga serta pasokan diantaranya melalui beberapa upaya. Pertama, antisipasi siklus kenaikan harga tahunan dan menjelang Hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN). Cara ini dilakukan melalui koordinasi distribusi, stok, dan pasokan dengan kementerian dan lembaga terkait.

Selanjutnya, pemerintah akan melakukan pemantauan dan pengawasan intensif pada pasokan dan penyaluran bahan pokok ke produsen. “Ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah,” tutur Oke, melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Sabtu (20/3).

Pemerintah melalui Kemendag, lanjutnya, juga akan menjamin kecukupan stok di dalam negeri dalam rangka mengantisipasi fluktuasi harga lebih lanjut. Sejalan dengan itu, akan disiapkan pula langkah importasi jika pengadaan dalam negeri belum mencukupi. Terutama untuk komoditi pangan yang sebagian besar memang berasal dari impor.

Selain itu, pemerintah juga akan menyediakan dan menyebarkan informasi terkait pasokan bahan pokok yang akurat, baik kepada pemerintah daerah maupun pelaku usaha. Sehingga perdagangan antar wilayah surplus dan defisit dapat dikurangi. Disparitas harga pun diharapkan akan menurun.

Pada saat yang sama, kelancaran distribusi bahan pokok melalui pengawasan dan pemanfaatan sarana distribusi seperti Tol Laut dan Gerai Maritim untuk moda laut akan ditingkatkan. “Sambil kita mengkaji alternatif atau bentuk subsidi untuk angkutan darat ke depannya terkait dengan penerapan Zero ODOL (Over Dimension Over Load),” urai dia.

Terakhir, Kemendag akan mengupayakan stimulus seperti berupa kredit usaha rakyat pada produsen bahan pokok. Bantuan pemberian modal ini diharapkan bisa dimanfaatkan sebagai upaya mengatur pola tanam, dan menjamin kepastian pasar bagi produk yang dihasilkan.

Dengan upaya pengendalian harga ini, Oke berharap, inflasi bahan makanan (volatile food) tetap terjaga, meski daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Bahkan, jika tidak ada lonjakan harga pada Ramadan dan Lebaran nanti, pihaknya memperkirakan inflasi bisa berada di kisaran 2%. 

"Pada akhirnya, inflasi umum juga masih akan bisa dijaga. Meskipun masih rendah,” tukas Oke.

Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.

Berita Lainnya
×
tekid