sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Asa dana segar di tengah kelesuan perusahaan rintisan

Lembaga Pengelola Investasi (LPI) mulai terjun mendanai startup yakni Traveloka yang dinilai bakal menjadi market leader.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 10 Okt 2022 16:58 WIB
Asa dana segar di tengah kelesuan perusahaan rintisan

Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) bersama manajer aset asal Amerika Serikat (AS) BlackRock baru saja memberikan suntikan dana kepada PT Traveloka Indonesia. Salah satu unikorn tanah air ini mendapat dana segar sebesar US$300 juta atau sekitar Rp4,57 triliun (kurs Rp15.235 per dolar AS). Selain itu, Allianz Global Investors dan manajer investasi kredit swasta dari Singapura Orion Capital Asia juga bergabung dalam putaran pendanaan ini.

Kabar investasi dari lembaga Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia ke Traveloka ini sebenarnya telah menyebar sejak Juni lalu. Meski demikian, langkah ini tetap mengagetkan bagi khalayak ramai. Sebab, investasi LPI ini dilakukan ketika minat pendanaan kepada bisnis startup tengah lesu dan performa industri sedang melempem.

Hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan rintisan yang melakukan efisiensi perusahaan dengan pemutusan hubungan kerja, penutupan layanan platform, hingga penutupan perusahaan secara permanen. Sebagai perusahaan rintisan yang bergerak di bidang agen perjalanan online alias Online Travel Agent (OTA), Traveloka sendiri akan menutup dua layanannya, Traveloka Eats dan Send.

Melansir dari informasi yang disampaikan Traveloka kepada merchant, Traveloka Eats akan efektif diberhentikan pada 31 Oktober 2022, pun dengan Traveloka Send. Perlu diketahui, layanan Eats mulai hadir di platform Traveloka pada 2021 lalu, sedangkan Send resmi diluncurkan pada pertengahan September kemarin.

Dokumentasi istimewa.

Sebelumnya, unicorn ini juga telah menutup layanan e-grocery Traveloka Mart. Padahal layanan ini baru saja dibuka pada Maret 2022. Dikatakan manajemen perusahaan, ditutupnya layanan ini merupakan bagian dari strategi bisnis dan prioritas perusahaan.
Sementara itu, narasumber Traveloka yang enggan disebutkan identitasnya menyebutkan alasan penutupan Eats dan Send. Traveloka dikatakan bermaksud untuk kembali fokus pada core bisnisnya sebagai startup penyedia jasa perjalanan dan hotel online.

“Ini adalah bagian dari strategi bisnis dan prioritas perusahaan. Seiring dengan bangkitnya sektor perjalanan, kami sangat antusias menyambut hal ini ke depannya,” kata dia, dalam pesan singkat yang diterima Alinea.id, Jumat (30/9).

Dengan berakhirnya dua layanan tersebut, Traveloka memastikan bahwa selama proses berlangsung, karyawan, mitra dan konsumen tetap menjadi fokus utama perusahaan. Di saat yang sama, perusahaan akan terus berkoordinasi dengan para mitra, serta menyediakan dukungan dalam proses pemberhentian layanan Eats dan Send.

Sponsored

“Traveloka menjamin proses sesuai aturan bagi karyawan, mitra dan konsumen di kedua layanan tersebut selama penutupan,” imbuhnya. 

Cita-cita jadi super apps

Sejak awal pandemi Covid-19, perusahaan yang berhasil mengumpulkan US$1,5 miliar dari delapan putaran pendanaan ini memang berniat untuk menjadi super app gaya hidup. Tak heran jika untuk mewujudkan misi tersebut, Traveloka banyak meluncurkan layanan penunjang lain, di antaranya Market, Eats dan Send. 

Selain itu, dari pantauan Alinea.id, startup dengan lambang burung ini juga memiliki layanan lain yang tidak berhubungan dengan Online Travel Agent (OTA), yakni layanan investasi emas yang bekerjasama dengan PT Pegadaian (Persero).

Sementara itu, dalam kesempatan lain, CEO dan Co-Founder Traveloka Ferry Unardi optimistis, jika pembiayaan baru dari empat investor ini dapat memperbaiki kinerja bisnis dan memperkuat neraca bisnis perusahaan. Apalagi karena pagebluk, valuasi perusahaan dikabarkan anjlok hingga 40%. Hal ini juga dimaksudkan untuk mendorong industri perjalanan dan pariwisata nasional.

“Kami sangat senang dengan bergabungnya INA, BlackRock, Allianz Global Investors, Orion dan lainnya ke dalam kelompok investor yang memiliki komitmen sama, yakni pada visi kami untuk memenuhi aspirasi perjalanan dan gaya hidup pengguna kami,” katanya, dalam keterangan yang diterima Alinea.id, Kamis (29/9).

Dalam kesempatan yang sama, CEO LPI Ridha Wirakusumah membeberkan, alasannya bergabung dalam pendanaan startup unicorn ini adalah karena pihaknya telah melihat adanya potensi pertumbuhan OTA, terutama setelah pandemi. Hal ini didorong juga oleh percepatan transformasi digital di tanah air dan semakin masifnya vaksinasi di tanah air.

Pertumbuhan OTA pun terlihat dari kontribusinya kepada industri pariwisata, di mana saat sebelum pandemi agen perjalanan daring ini berkontribusi sebesar 24% dari pemesanan bruto pariwisata. Pada tahun 2021, kontribusinya naik menjadi 33%. 
“Harapannya, pada 2024 akan naik lagi menjadi 36%,” kata dia, kepada Alinea.id, Jumat (7/10).

 

 

Sementara itu, lembaga survei Statista memperkirakan, industri perjalanan online akan tumbuh di kisaran US$25 juta pada 2025. Angka ini jauh lebih tinggi dari pendapatan kotor (gross merchandise value/GMV) industri yang sebesar US$10,2 juta.

Di saat yang sama, Ridha juga menilai bahwa Traveloka merupakan penyedia jasa OTA terbaik yang ada di Indonesia, dan bahkan di regional. Dengan demikian, dirinya berharap pendanaan ini dapat menjadi katalis utama menuju digitalisasi perjalanan dan akomodasi di Indonesia dan kawasan.

“Kami percaya, investasi bersama ini dapat meningkatkan dan memungkinkan Traveloka untuk memperdalam kepemimpinannya dan menciptakan nilai bagi seluruh ekosistem perjalanan,” imbuh dia.

Tidak hanya itu, dalam kesempatan lain Juru Bicara perusahaan pengelola investasi Indonesia alias Indonesia Investment Authority (INA) Masyita Crystallin mengungkapkan, investasi pada Traveloka ini sesuai dengan fokus pendanaan LPI, yakni di sektor digital. Hal ini pun pernah diungkapkan oleh Ridha saat awal berdirinya INA.

Meskipun di sektor digital INA lebih fokus membiayai proyek-proyek menara telekomunikasi, data center dan jaringan fiber, namun tak menutup kemungkinan lembaga ini ikut berinvestasi pada platform atau dalam hal ini adalah perusahaan startup. “Sebelumnya INA juga telah berinvestasi di proyek digital lain, di perusahaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia, MTEL,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (6/10).

Investasi ini dilakukan dengan aksi borong saham PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk pada akhir tahun 2021. Hingga kini, melalui Maleo Investasi Indonesia, tercatat sudah ada 5% saham MTEL yang dimiliki oleh INA. Meski begitu, Masyita enggan berkomentar, ketika ditanya apakah ke depannya SWF Indonesia ini akan kembali membiayai perusahaan rintisan.

Sementara itu, sektor lain yang menjadi fokus pembiayaan INA antara lain, infrastruktur dasar yang bisa meliputi jalan tol, pelabuhan dan bandara; kesehatan; dan green investing atau energi terbarukan.

Tanggung risiko

Menanggapi langkah baru INA dalam menyalurkan pendanaannya ini, Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, ada beberapa risiko yang membayangi INA ketika SWF Indonesia ini terjun ke dalam pembiayaan startup.

Pertama, INA bisa saja kesulitan dalam mendapatkan imbal hasil yang pasti dalam jangka pendek dari investasinya ini. Hal ini karena Traveloka diperkirakan bakal menggunakan dana ini untuk memperbaiki neraca keuangan perusahaan, setelah sebelumnya sempat terpukul pandemi. Risiko selanjutnya ialah terkait likuiditas. 

“Kalau INA membutuhkan dana untuk segera dicairkan dari investasinya ini, maka INA kemungkinan akan kesulitan dalam mendapatkannya. Karena kondisi keuangan Traveloka pascapandemi, perusahaan ini bisa jadi akan kesulitan memenuhinya,” jelas dia, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (5/10).

Pun demikian, jika INA akan melanjutkan investasinya di platform-platform startup di kemudian hari. Bagaimana tidak, di tengah sulitnya ekonomi dunia kini semakin banyak startup yang merugi. Belum lagi, pendanaan oleh investor baik dari luar maupun dalam negeri pun masih ketat.

“Belum lagi, kalau tahun depan resesi global benar-benar terjadi, winter startup (musim dingin startup-red) akan berlangsung semakin lama,” lanjut dia.

Bagi INA, pendanaan kepada startup memang bisa jadi berisiko. Sebaliknya, investasi ini justru menjadi angin segar bagi Traveloka, pun untuk industri startup secara keseluruhan, jika INA melanjutkan pembiayaan ini kepada platform-platform lain.

Ilustrasi Pexels.com.

Putaran pendanaan yang didapat oleh Traveloka ini juga bisa menjadi tanda bahwa minat investor untuk menanamkan modalnya kepada perusahaan rintisan nasional. Sebab, beberapa waktu terakhir investor di dunia sedang sangat berhati-hati mengucurkan dananya kepada platform, menyusul perlambatan ekonomi global.

Dari sisi Traveloka, Peneliti Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, pendanaan INA, BlackRock, Allianz Global Investors, dan Orion bisa jadi terjadi karena startup OTA ini kembali memfokuskan inti bisnisnya di sektor pariwisata dan perhotelan, setelah sebelumnya ingin menjajal memperluas jaringan bisnisnya dan menjadi platform gaya hidup.

“Tapi nampaknya dengan keluarnya Traveloka Eats dan Send juga menjadi lebih jelas arah pengembangan aplikasinya. Karena nantinya akan susah bersaing kalau Traveloka tetap di bidang pesan antar makanan dan kirim barang,” jelasnya, kepada Alinea.id, Jumat (7/10).

Sementara itu Nailul berpendapat, jika Traveloka tetap mempertahankan layanan Eats dan Send, maka mau tidak mau platform yang sudah berusia satu dekade ini harus melakukan strategi ‘bakar uang’ untuk menggaet konsumen di layanan pengiriman makanan dan barang. Langkah ini pun belum tentu efektif, mengingat banyaknya platform yang lebih dulu berfokus pada dua lini bisnis ini, seperti Go-Food oleh Gojek, Grab Food oleh Grab dan Shopee Food oleh Shopee. Atau bisnis pengiriman barang yang sudaah tersedia pula di GoJek, Grab, maupun startup logistik lainnya, seperti SiCepat.

Di saat yang sama, ketika dana suntikan ini digunakan untuk bakar uang, sudah dapat dipastikan pertumbuhan bisnis Traveloka tidak akan sustain. “Maka dari itu, saya melihat fokus bisnis perusahaan ini juga menjadi faktor pendorong investor investasi di Traveloka atau startup lainnya,” kata dia.

Pada kesempatan lain, Pengamat Associate Director BUMN Research Group Lembaga Management Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) Toto Pranoto mengingatkan, ketika INA ingin masuk sebagai investor startup hal paling penting yang harus dilakukan oleh lembaga pengelola investasi ini adalah selektif saat menentukan platform mana yang ingin didanai. 

Tidak hanya itu, investasi juga harus dilakukan dengan proper (baik), kemudian disertai dengan operational, financial dan legal due diligence atau uji tuntas operasional, keuangan, dan hukum yang komprehensif.

“Jika semua ini dilakukan maka investasi ini bisa saja dilaksanakan. Tentu perlu dipilih selektif juga platformnya. Intinya investasi harus mampu men-generate profit yang cukup,” tegas Toto, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (6/10).

Investasi ini pun juga bisa jadi menguntungkan, dengan asumsi bahwa Traveloka akan menjadi market leader bisnis OTA di masa depan. Namun hal ini lagi-lagi harus dilihat dulu seberapa besar nilai investasi INA yang ditanamkan secara khusus kepada Traveloka. Jika investasi dicapai dengan harga relatif ‘murah’, potensi SWF Indonesia untuk mujur di masa depan semakin besar, ketika bisnis OTA Traveloka semakin berkembang.

“Ini berlaku juga untuk platform lain. Startup memang lagi turun, tapi tidak akan selamanya. Membeli perusahaan market leader ketika pasar booming pasti akan sangat mahal. Kesempatan masuk di saat sedang lesu. Harga bisa ditekan. Dengan harapan mendapatkan keuntungan ketika pasar kembali naik,” jelas Direktur Eksekutif dan Co-Founder Segara Institute Piter Abdilah, kepada Alinea.id, Jumat (7/10).

Sementara itu, Juru Bicara INA Masyita Cristallin menegaskan, bahwa LPI sangat berhati-hati sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Berbagai langkah dilakukan, termasuk melakukan uji tuntas atau due diligence ketat dan tentu saja dengan mematuhi prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG) dan menggunakan strategi investasi berkelanjutan (Environmental, Social and Governance/ESG).

“Ini dilakukan untuk memastikan bisnis layak secara komersial dan dapat memberikan return (imbal hasil-red) yang optimal kepada semua stakeholder. Dan yang paling penting untuk mendorong perekonomian Indonesia,” jelas dia. 

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Berita Lainnya
×
tekid